Ada satu point menarik yang terbetik pada bagian awal debat Presiden antara pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tanggal 9 Juni 2014. Butir itu adalah tentang pengertian demokrasi.
Β
Dalam debat itu, butir tersebut terkesan seperti sesuatu yang tidak penting, karena itu tidak mendapat perhatian yang cukup serius. Sementara para pendukung dari kedua pihak juga tidak tertarik untuk membahas lebih lanjut. Namun saya memandangnya penting, terutama karena adanya trauma masa lampau di kalangan masyarakat Indonesia terhadap sistem pemerintahan otoriter dalam masa yang panjang.
Tidak kurang dari 50 tahun sejak Indonesia merdeka, rakyat hidup dalam sistem otoriter. Sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan luas tentang bentuk pemerintahan yang bagaimana yang akan diterapkan kalau salah satu di antara kedua pasangan kandidat itu memenangkan Pemilihan Presiden tanggal 9 Juli 2014 yang akan datang?
Kita tahu istilah demokrasi dikenal luas sebagai istilah umum. Hampir semua pemerintah menggunakannya dalam pengertian yang berbeda. Bahkan sistem otoriter pun menggunakan istilah yang sama dengan variasi yang dibuatnya sendiri untuk menyembunyikan bentuk yang sesungguhnya. Ada demokrasi kerakyatan atau demokrasi proletariat dikalangan sistem pemerintahan komunis, ada demokrasi terpimpin zaman Orde Lama, ada demokrasi Pancasila zaman Orde Baru dan sebagainya.
Untuk menghindarkan adanya tuduhan pemihakan politik dalam mengomentari Debat Calon Presiden-Wakil Presiden tersebut, sepatutnya kita mencari pengertian umum yang populer dan mempunyai kriteria-kriteria yang jelas. Untuk itu kita kutip saja sebuah pidato yang paling terkenal tentang hal ini, yakni rumusan yang disampaikan dalam Pidato Abraham Lincoln di Taman Makam Pahlawan Gettysburg, Pennsylvania tahun 1863. Kutipan itu adalah β...government of the people, by the people, for the people, shall not perish from the earthβ.
Pidato itu mengemukakan tiga kriteria penting tentang demokrasi, yaitu: of the people, by the people dan for the people. Kriteria inilah yang membedakan sistem demokrasi dengan sistem otoriter. Sistem otoriter pada umumnya mengambil salah satu dari kriteria itu dan mengabaikan kriteria yang lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Β
Aspek kedua tentang for the people. Pasangan Jokowi menyebutkan tujuannya untuk melakukan apa yang dikehendaki atau didengar dari rakyat. Sementara pasangan Prabowo menyebutkan demokrasi sebagai alat untuk mewujudkan negara yang berdaulat dan kesejahteraan rakyat. Perbedaan di sini terletak pada keinginan pembentukan masa depan. Jokowi lebih mewakili pandangan welfare state, apa keperluan dan keinginan rakyat. Bukan suatu perubahan yang berorintasi dimasa depan. Kalau ada perubahan, itu adalah sesuai dengan kehendak rakyat.
Sedangkan Prabowo lebih berorientasi pada pembangunan masa depan, atau masa depan yang lebih maju. Yang menjadi pertanyaan, masa depan untuk kepentingan siapa dan dalam rumusan siapa? Ini mengandung ciri otoriter.
Uniknya terdapat perbedaan tentang prinsip demokrasi antara Capres Prabowo dengan Cawapres Hatta Rajasa. Prabowo melihat demokrasi sebagai alat belaka. Kalau tujuan sudah tercapai, alat itu boleh ditinggalkan. Sedangkan Hatta Rajasa mengatakan demokrasi bukan sekedar sebagai alat, tapi juga tujuan yang tetap harus dipertahankan. Kedua pengertian ini mengandung konsekuensi yang sangat berbeda.
Stockholm, 10 Juni 2014
*) Said Zainal Abidin adalah Guru Besar STIA LAN dan Mantan Penasihat KPK
(nwk/nwk)











































