Oligarki politik selama ini menjadi faktor utama mengapa para pemimpin daerah tidak mendapat tempat menduduki posisi puncak di negeri ini. Dengan diputuskannya pemilihan presiden dan wakil presiden serentak pada Pemilu 2019 tersebut, sudah waktunya para pemimpin daerah diserap dan diakomodir koalisi parpol sebagai capres atau cawapres untuk mengatasi kompleksitas persoalan Indonesia.
Para analis politik menilai, pemimpin daerah yang berhasil umumnya siap diwakafkan untuk negara dengan menjadi pemimpin nasional. Apalagi, banyak kepala daerah yang pantas diangkat menjadi pemimpin nasional pada tahun-tahun mendatang.
Persoalannya, berbagai pihak menikmati model oligarki dan di tubuh parpol, kondisi seperti ini sangat kental. Karena itu diperlukan kepemimpinan transformatif dari parpol untuk membawa pemimpin daerah sebagai pemimpin nasional.
Oligarkisme beserta proses perekrutan pemimpin yang ada selama ini, jelas merupakan warisan rezim otoritarianisme Orde Baru. Kader-kader parpol terkooptasi oleh rezim otoritarianisme. Organisasi kemasyarakatan (ormas) yang seharusnya bisa melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan, ternyata tidak bisa hidup layak.
Padahal, sebelum parpol politik menjadi layak, ormas harus bagus dulu. Akibatnya, dengan memanfaatkan aji mumpung situasi itu, oligarkisme menguat, sementara para pemimpin daerah seakan diabaikan. Kondisi ini harus diubah, ditranformasikan oleh para pemimpin politik di pusat agar oligarkisme tidak berkarat dan eksistensi parpol tidak mudah merosot lalu tamat.
Para pengamat mengungkapkan, kepemimpinan transformatif dirumuskan sebagai kepemimpinan yang menggunakan kharisma mereka untuk melakukan transformasi dan merevitalisasi organisasinya. Akan tetapi, kepemimpinan transformatif berbeda dengan kepemimpinan karismatik ala Soekarno ataupun Soeharto.
Para pemimpin yang transformatif lebih mementingkan revitalisasi para pengikut dan organisasinya secara menyeluruh ketimbang memberikan instruksi-intruksi yang bersifat top down. Selain itu, pemimpin yang transformatif lebih memposisikan diri mereka sebagai mentor yang bersedia menampung aspirasi para bawahannya. Jangan lupa, pemimpin yang transformatif lebih menekankan pada bagaimana merevitalisasi institusinya, baik dalam level organisasi maupun negara.
Pemimpin transformatif senantiasa memberikan motivasi yang memberikan inspirasi bagi pengikutnya dengan cara melakukan komunikasi secara efektif dengan menggunakan simbol-simbol, tidak hanya menggunakan bahasa verbal. Dan biasanya, pemimpin transformatif berupaya meningkatkan kapasitas para pengikutnya agar bisa mandiri, tidak selamanya tergantung pada sang pemimpin. Dalam hal ini, potensi para pemimpin daerah seperti Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Gubernur DKI Jokowi, Gubernur Kalteng Teras Narang dan lainnya menjadi alternatif yang baik.
Kini, gebrakan publik harus diarahkan kepada pimpinan partai politik (parpol) di pusat agar mau bertransformasi diri menjadi pemimpin yang modern dan demokratis, bukan oligarkis sehingga siap menyerap pemimpin daerah yang diwakafkan kepada rakyat dan pusat.
Mudah-mudahan ke depan, bangsa ini memiliki pemimpin yang betul-betul membela masyarakat dengan mengedepankan semangat nasionalisme dalam menjalankan roda pemerintahan. Yang jelas saat ini adalah, selamat tinggal sistem oligarki. Dan kepada anggota DPR RI periode 2014-2019 juga diharapkan mampu melalukan perubahan-perubahan besar dalam merevisi UU Pemilu 2019.
*) Amril Jambak adalah wartawan di Pekanbaru, Riau
(nwk/nwk)











































