Menurut informasi tersebut, selama satu tahun 2013, negara diuntungkan oleh penerimaan dari sektor telekomunikasi sebesar Rp 13,5 triliun. Bukan angka kecil jika kita membandingkan angka tersebut berjumlah lebih dari 6 kali lipat dari total anggaran subsidi Public Service Obligation (PSO) untuk angkutan kereta api dan kapal laut di APBN 2014.
Di tahun 2014, angka tersebut diyakini akan bertambah lagi, mengingat semakin pesatnya bisnis telekomunikasi yang saat ini dikuasai oleh beberapa pemain besar seperti Telkom Group, Indosat Group, dan XL Axiata. Pendapatan dari tiga perusahaan ini saja sudah mencapai lebih dari Rp 100 triliun di tahun 2013 atau hampir menyamai anggaran pendidikan pada Kementerian Negara dan Lembaga sesuai APBN 2014 yang mencapai Rp 130 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, di tahun 2014 ini pengaturan slot frekuensi pun juga akan semakin digalakkan setelah suksesnya Kemenkominfo mengatur susunan kepemilikan frekuensi di selang 2,1 GHz. Frekuensi tersebut menjadi andalan operator telekomunikasi seluler dalam menjalankan layanan teknologi 3G.
Di sisi aksi korporasi, rencana akuisisi Axis oleh XL Axiata, tentu saja memberikan potensi pemasukan lagi dari blok frekuensi yang harus dikembalikan ke negara, yang kemudian dapat dilelang kembali.
Saya akan memberikan kredit khusus tambahan kepada Kemenkominfo, jika sukses mengatur ulang atau setidaknya mengupayakan efisiensi frekuensi di selang 2,5 GHz yang mutlak dikuasai oleh satu operator televisi berbayar, mengingat frekuensi di Indonesia memang sangat berharga dan mahal.
Ambil contoh, penyelenggara layanan Broadband Wireless Access 2,3 GHz saja harus membayar ratusan miliar untuk sekedar mendapatkan slot 15 MHz di wilayah Jakarta dan sekitarnya saja. Bayangkan jika memiliki 100 MHz, berapa potensi PNBP yang bisa diperoleh Indonesia.
Mudah-mudahan dalam waktu singkat sektor telekomunikasi tidak lagi hanya sebagai "sektor pendukung yang dianggap sangat penting", tapi harus menjadi sistem utama dalam penyelenggaraan negara ini di masa-masa ke depan.
Keterangan: Penulis adalah mahasiswa Master ICT in Business, Leiden University, Belanda; penerima beasiswa unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (es/es)











































