Politik Bunuh Diri PKS
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Politik Bunuh Diri PKS

Rabu, 15 Mei 2013 10:33 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Prinsip Sun Tzu dalam bukunya The Art of War, “Pertahanan Terbaik adalah Menyerang” nampaknya sedang diadopsi oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat terjepit berhadapan dengan kasus hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini mantan pucuk pimpinan yaitu Presiden PKS, Lutfhi Hasan Ishaaq (LHI) ditahan KPK dalam kasus suap impor daging sapi.

Perlawanan PKS terhadap KPK semakin memuncak saat beberapa aset partai tersebut berupa mobil disita terkait kasus dugaan pidana pencucian uang tersangka LHI dan stafnya Ahmad Fathanah (AF). Ketiga mobil yang hendak disita disinyalir berasal dari dana yang tidak bisa dipertanggungjawabkan atau hasil tindak pidana korupsi. Sebelumnya KPK sudah menyita beberapa mobil LHI, AF dan teman perempuannya.

Saat ini, pemberantasan korupsi politik memulai gairahnya saat KPK dengan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) fokus menelusuri dana partai politik. Apes bagi PKS karena banyak elit yang diduga akan terkena metode mengikuti arah aliran dana atau “follow the money” atas kasus mantan presidenya. Sebelumnya partai Demokrat juga pernah merasakan momok menakutkan amunisi pemberantasan korupsi yang baru ini di Indonesia. Sebelumnya KPK kurang maksimal dalam jeratan TPPU pada kasus mafia anggaran kasus Dana Pembangunan Infrastuktur Daerah (DPID) dengan terdakwa Wa Ode Nurhayati.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kembali PKS, partai yang lahir dari perut reformasi mengusung slogan antikorupsi, upaya perlawanan terhadap KPK saat ini bisa dibilang adalah sikap bunuh diri politik menjelang Pemilu 2014. Padahal partai tersebut mengusung dan mentargetkan posisi 3 besar pada Pemilu ke depan. Belajar dari Pemilu 2009, berarti PKS harus meraih suara sekitar 15.000.000 untuk posisi ketiga. Ini artinya 2014 nanti PKS harus meningkatkan kurang lebih 7.000.000 suara dari tahun 2009 yang hanya 8.205.955 juta suara. Padahal dalam catatan Mukernas 2010, jumlah kader PKS hanya sekitar 800.000 orang.

Target Pemilu 2014 yang sangat ambisius bagi PKS karena harus berkurang sepuluh kali lipat dari jumlah kader yang ada saat ini. Dengan situasi saat ini, elit politiknya seperti pendiri PKS Hilmi Aminuddin yang kemungkinan terseret, dengan energi yang tercurah untuk melawan KPK, dan pendanaan politik yang semakin menipis, saya menduga PKS justru akan mendapatkan jumlah suara yang menurun dari 2009.

Di sisi lain, PKS tambah tersulut ketika, Indonesia Corruption Watch (ICW) mewacanakan upaya menghukum partai politik dengan mekanisme pembekuan pada UU TPPU jika PKS terbukti menerima, mengelola uang hasil korupsi (aset mobil misalnya). Upaya perlawanan lain oleh PKS yaitu melaporkan sejumlah penyidik dan jubir KPK kepada Kepolisian.

Dengan beberapa tindakan tersebut, justru akan menjadi beban bagi PKS. Beban karena jika terbukti beberapa elitnya terjerat lagi makan akan semakin turun pamor dan integritas partainya. Dan itu hanya masalah waktu seiring proses hukum di KPK. Selain beban, konsolidasi internal partai juga akan menurun kesolidannya, walaupun dipublik PKS menyatakan tetap solid, namun sepertinya hal tersebut kurang logis.

Bersih Diri

PKS disinyalir akan tetap bisa dalam posisi empat besar tahun 2014 nanti jika solid jejaring kadernya dan mengambil simpati publik dengan merealisasikan gerakan tobat nasional berupa bersih-bersih internal. Ini penting untuk tetap membertahankan citra sebagai partai bersih. Saat awal terkena badai kasus korupsi, langkah elit PKS dengan melokalisir bahwa LHI dan AF dalam korupsi tidak berkaitan dengan keorganisasian cukup efektif membuat wacana publik. Namun, akhir-akhir ini lebih terpancing emosi karena kekhawatiran berlebih dari elit PKS. Padahal sesuai slogan, kalau bersih kenapa risih.

Jika PKS ksatria, justru harusnya menjadikan momentum ini untuk intropeksi dan selangkah didepan melakukan audit aset partai politik dan disampaikan ke publik. Audit aset partai politik ini belum pernah dilakukan oleh partai manapun, termasuk Golkar yang notabenenya setnya adalah warisan Orde Baru. Audit aset partai bisa dilakukan oleh BPK ataupun Kantor Akuntan Publik (KAP). Tentu ini hal yang sulit jika ada hal yang ditutupi apalagi harta korupsi.

Perlu diingat, Pemilu tinggal 11 bulan lagi. Semakin berani melawan proses hukum, justru dalam opini publik citra dan integritas PKS akan semakin menurun. Ke depan, masyarakat sebagai pemilih telah cerdas. Mereka mengamati kinerja politik dari partai dan mengamati kader partai yang terjerat korupsi. Masyarakat cukup sadar, saat proses pemberantasan korupsi cukup lambat, dan partai korup sulit untuk dibubarkan, justru proses Pemilu menjadi momentum tepat dan konstitusional untuk menghukum partai. Dengan cara tidak memilih politisi dan partai korup dalam Pemilu 2014.

Akhirnya, sebagai partai yang masih muda dalam berpolitik, prinsip Sun Tzu perlu direnungkan oleh PKS, jangan ditelan mentah-mentah. Sebab prinsip tersebut tidaklah absolut, apalagi saat situasi pasukan sedang dalam kondisi terdesak karena kesalahan sendiri yaitu korupsi. Lebih baik belajar prinsip Sun Tzu lainya yaitu intropeksi diri, atas kasus korupsi yang menjerat beberapa elitnya dan tentang mimpi pesta demokrasi tahun depan, jangan bunuh diri.


*) Apung Widadi, analis politik independen


(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads