Aksi Silat Lidah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan M. Aji Surya (6)

Aksi Silat Lidah

Sabtu, 02 Mar 2013 08:00 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Menjelang 2014, jagad politik Indonesia semakin memanas. Suhunya terus meningkat dan hampir dipastikan berujung pada perebutan kursi kekuasaan. Kalau saja etika berpolitik yang santun hanya sekedar jargon, maka rakyat jua yang akhirnya mengetam hasil buruk sistem demokrasi.

Genderang perang yang ditabuh oleh Anas Urbaningrum pasca penetapannya sebagai tersangka, kemungkinan besar bukan sesumbar pepesan kosong. Tokoh sekaliber Anas pasti menyiapkan banyak amunisi ketika benar-benar harus berjibaku di medan laga. Mantan bendaharawan Partai Demokrat, Nazaruddin saja, memiliki file cukup lengkap untuk “membunuh” lawan secara pelan namun pasti. Apalagi Anas.

Di sisi lain, partai terbesar di Indonesia saat ini juga bukan organisasi ecek-ecek yang naik daun karena faktor kebetulan. Buktinya, strategi jitu yang diterapkan pada dua pemilu terakhir benar-benar membuktikan adanya sosok-sosok yang kampiun dan memiliki naluri politik tinggi. Petuah yang disampaikan oleh pimpinan partai dalam menyikapi masalah Anas pastilah sudah terukur dan tidak asal keluar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan demikian, bisa jadi Perang Bharata Yhuda di dalam Partai Demokrat memang tidak bisa dihindari. Hari-hari mendatang, jagad politik Indonesia pasti akan dihiasi oleh sebuah pertengkaran yang tidak mudah dipadamkan. Saling membuka kartu di muka publik dan di depan meja hijau akan mengharubirukan media nasional dan menggantikan perhatian tentang aneka bencana, kekurangan pangan, sekolah dasar yang hampir runtuh hingga meningkatnya penggunaan obat terlarang.

Peperangan besar yang baru dimulai di Partai Demokrat tersebut bukanlah satu-satunya pertikaian dalam satu partai. Belum lama ini, sebuah partai lain juga diguncang-guncang oleh media terkait dugaan skandal korupsi daging. Seorang pimpinan partai yang biasanya dihormati dan diamini doanya, tiba-tiba harus berjalan dengan kawalan penegak hukum. Yang biasanya menggunakan baju yang melambangkan keimanan harus diganti dengan baju tahanan. Sama-sama bersih dan licin diseterika, namun berbeda makna.

Diantara dua kejadian partai besar tersebut, ada lagi guncangan di sebuah partai yang benar-benar masih gres atau baru. Perebutan kursi pucuk pimpinan menyebabkan kegaulan sejumlah pihak. Bahkan salah satu tokoh utamanya mundur, hengkang dan hinggap di partai lain. Tokoh yang berkantong tebal itupun lantas mendapatkan posisi terhormat dan langsung bisa terjun untuk berkiprah dalam kancah politik tanah air.

Dan dalam waktu yang bersamaan, banyak politisi lainnya yang saling loncat dari satu partai ke partai lainnya. Alasan yang disampaikan bermacam-macam, tidak jauh dari alasan ketika suami istri harus berada di depan meja hijau untuk bercerai. Tidak hanya itu, permainan saling intip dan seruduk antar partai secara halus terus berlangsung. Semua meramaikan langit perburuan kursi di legislatif maupun puncak eksekutif yang tidak lama lagi akan digelar di negeri tercinta ini.

Sudah tentu, riuh rendah politik tanah air itu lebih diwarnai oleh aksi silat lidah. Kelihaian memilin-milin dan menekuk-nekuk lidah setiap waktu mudah ditemui di semua stasiun televisi, radio, majalah, harian cetak hingga media sosial. Twitter dan FB misalnya, selalu dimanfaatkan untuk melempar pernyataan, wacana, isu hingga fitnah tanpa ada jedanya.

Lalu masyarakatpun tidak memiliki pilihan kecuali mengikuti aneka isu politik yang terus berkembang dan membumbung ke langit. Tanpa terasa, akhirnya mereka pun ikut hanyut dan menjadikannya sebagai bahan gunjingan dan diskusi di angkot hingga hotel berbintang. Hampir semua terjebak dalam sebuah retorika kosong yang tidak mengasilkan dan kurang memajukan bangsa.

Demokrasi yang berkembang akhirnya adalah sebuah budaya beda pendapat dalam arti kebiasaan saling serang. Tanpa adanya pengalaman politik yang matang akhirnya masyarakat bisa terbelah dalam berbagai isu dan terjebak pada primordialisme tanpa arah. Bahkan, kalau tidak terbendung, perbedaan pendapat itu acapkali diejawantahkan dalam pertikaian fisik yang bersimbah darah.

Sayangnya, hiruk pikuk persaingan politik saat ini bukan berada di titik kulminasi yang akan segera meluncur turun. Semua masih pada posisi menanjak hingga dua tahun ke depan. Nafsu politik akan terus menggebu. Ini artinya, berbagai konsekuensi dan dampak ikutannya dalam kehidupan masyarakat akan masih terus berlangsung dan menjadi-jadi. Rakyat akan menjadi semacam ekor naga yang hanya mengikuti apa maunya kepala tanpa tahu harus kemana. Akhirnya yang dirasakan adalah sebuah kerugian dan kejumudan pembangunan.

Para punggawa politik setali tiga uang. Saking sibuknya dalam membela primodialisme partainya bisa jadi akan relatif meminggirkan peranannya sebagai wakil rakyat dan mengabdi bagi kepentingan semua. Silat lidah yang dilontarkan para politisi, dalam beberapa waktu belakangan ini, relatif menganggu ketentraman dan mengombang-ambingkan keadaan.

Maklumlah, namanya juga silat lidah. Bisa jadi apa yang disampaikan bukan yang nyata. Yang dilontarkan kadangkala bukanlah sebuah realita. Tidak selalu mencerminkan niat dan apa yang terbenam dalam pikirannya. Tidak jarang, yang meluncur adalah kata-kata yang terkait strategi memenangkan pertarungan dan mengantarkannya pada kejayaan primordial semata.

Dalam keadaan itu, yang tersurat mungkin hanya mencerminkan sepuluh persen dari kemauannya. Yang tersirat disimpan rapat-rapat dan membiarkan orang lain menebak-nebak, dan syukur-syukur terkelabuhi. Banyak politisi bermain watak bagaikan pemain sinetron dan bintang film di layar lebar.

Padahal, retorika politik yang tidak dibarengi etika dapat menyengsarakan rakyat. Silat lidah yang tidak didasari sebuah kesantunan akan membawa kerusakan tatanan kehidupan. Asal ngomong tanpa dilandasi kepentingan umum akan menyulut kesulitan. Hanya ketulusan dan kesungguhan yang dapat memajukan peradaban manusia.

*) M. Aji Surya, pengamat sosial tinggal di Jakarta.

(asy/asy)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads