Pilkada DKI yang kian dekat memang kian memanas. Di tengah riuhnya teroris gagal meledakkan bom dan menyerah, emosi pendukung dua pasang kandidat Gubernur DKI itu juga kian tak terkontrol. Ini terlihat dari reaksi dua kubu yang saling melaporkan terjadi penyimpangan.
Yang mengejutkan, ternyata yang tak mampu mengontrol emosinya itu tidak hanya pendukung. Person yang didukung pun tersulut emosi. Nachrowi Ramli (Nara) yang menjadi pasangan Foke, ikut-ikutan melakukan itu. Dia bilang ‘Jangan pilih bukan etnis Betawi. Jika melakukan, silakan keluar dari Betawi”.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya Suku Jawa. Saya tinggal di Jakarta, dan terus terang pendukung Foke. Itu terbaca dari tulisan saya di kolom ini ketika Foke maju, menang, menggantikan Bang Yos (Sutiyoso) tahun 2007, sampai mengendalikan DKI Jakarta hampir lima tahun ini.
Lingkungan saya juga penyemarak Foke. Bahkan beberapa pengendali untuk pemenangan Foke-Nara adalah teman-teman dekat saya. Saya acap memberi saran dan urun rembug merancang strategi mengalahkan Jokowi-Ahok, juga mengevaluasi, bagaimana cara mendegradasi dominasi pesaingnya itu.
Karena secara emosional saya sudah masuk sebagai partisan, sejak putaran pertama sampai kedua ini, saya tidak pernah menulis tentang Pilkada DKI. Itu saya lakukan sebagai konsekuensi moral, agar demokratisasi dalam pemilihan Gubernur DKI berjalan elok, dan fairplay mengharumkan kota yang menjadi ibukota negara tercinta ini.
Beberapa hari lalu ketika Foke bertandang ke detik.com, bicara lugas tentang masalalunya dengan sangat familiar, saya tabik itu. Ini memberi nilai plus untuk meningkatkan citra baik pasangan Foke-Nara. Dan itu menjadi plus-plus tatkala detik.com mewawancarai istri Foke, Sri Hartati, dan mengungkap orangtuanya yang ternyata bernama Soedjono Hoemardani.
Kenapa itu menjadi plus-plus, karena wilayah-wilayah yang memenangkan suara Jokowi-Ahok putaran pertama memberi kesan, sentra ‘non-pri’ yang dulu pasif sekarang aktif berpartisipasi. Itu ditambah komunitas pendatang (Jawa) yang terbanyak bergerak di sektor informal. Ini faktor yang mendongkrak suara pasangan Jokowi-Ahok menang di Jaksel, Jaktim, dan Jakpus.
Soedjono Hoemardani, mertua Foke yang kelahiran Solo, adalah nama yang potensial untuk menggerus suara Jokowi-Ahok di komunitas pendatang. Dia sosok yang intens sebagai penghayat kebudayaan Jawa. Ahli lobi, ahli nyepi, ahli puasa, dan ahli dalam ilmu kebatinan. Di kalangan orang Jawa, namanya amat disanjung dan dituakan.
Dan betul saja. Sejak tulisan di detik.com itu terpublikasi, di jejaring sosial mulai diramaikan soal ini. Soal siapa nama istri Foke, siapa Foke, dan tentu saja, arus besarnya seputar nama agung sang mertua. Itu membuat oleng sebagian pendukung fanatik Jokowi-Ahok. Termasuk kelesak-kelesik di warung-warung.
Namun ‘senjata’ ini belum sampai menghunjam ke ulu hati, tiba-tiba Nara ‘merusaknya’ dengan ucapan yang menyakitkan. “Saya mengingatkan kepada kaum Betawi, tidak ada pilihan lain selain satu untuk semua. Silakan keluar dari Betawi jika tidak memilih orang Betawi”. Itu dikatakannya pada acara Lebaran Betawi 1433 Hijriah di Lapangan Bermes, Jakarta Utara, Senin (10/9).
Secara pribadi, saya sangat tersinggung dengan ucapan itu. Apalagi Betawi bukanlah suku. Nama ini diambil dari Batavia. Penduduk yang tinggal bukan berasal dari satu suku, tetapi pendatang. Mereka berasal dari berbagai daerah lain, ditambah Arab dan China.
Kota Batavia baru berdiri tahun 1619. Daerah yang mengitarinya berasal dari Suku Sunda dan Banten. Namun penyerangan Mataram dua kali ke Batavia tahun 1628 dan tahun 1629 untuk mengusir VOC Belanda, menempatkan Suku Jawa terserak dari Cirebon, Kerawang, Subang, Bekasi, dan Jakarta sendiri.
Untuk itu, jika Nara melontarkan ucapan yang sarkastis seperti itu, maka sama dengan mendekonstruksi pendukungnya sendiri. Dan itu yang sekarang sedang bergejolak di grass-root. Pendukung Foke-Nara mulai ragu. Adakah bakal hebat sebuah kota jika dipimpin oleh pemimpin yang diragukan sikap ksatrianya?
Saya salut dengan langkah strategis istri Foke, Sri Hartati yang mendekati para bakul jamu. Di situlah pundi-pundi suara potensial. Harusnya Nara melakukan seperti itu, bukan malah memecah konstituensinya sendiri. Siapakah yang bakal menang nantinya?
*) Djoko Suud Sukahar, pemerhati sosial budaya tinggal di Jakarta
(asy/asy)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini