Β
Lombok sekarang mahalnya amit-amit. Tanaman yang gampang hidup dan bisa tumbuh di sembarang tempat di tanahair ini tiba-tiba harganya melangit. Dari tak sampai sepuluh ribu rupiah, membubung tinggi hingga di atas seratus ribu rupiah.
Jangan bertanya pada pemerintah mengapa bisa begitu. Sebab hampir pasti jawaban pejabat terkait klise, 'menyalahkan' Tuhan (akibat iklim tak menentu). Untuk itu solusinya ya sumarah (pasrah). Impor ke negeri luar, atau disuruh cari pengganti (substitusi), seperti merica atau paprika.
Yang ribut lombok mahal itu ternyata hanya di Jawa. Jumat kemarin (7/1) ketika saya diundang 'temu budaya' Astra Agro di Palu, Sulawesi Tengah, para pemilik restoran tidak ada yang berteriak. Malah seorang teman yang baru datang dari Manado bilang di Kawanua biasa-biasa saja. Tidak ada kegaduhan soal harga cabe atau rica-rica.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika cabe sedang mahal, orang Minahasa makan hanya butuh satu cabe. Dabu-dabu (sambal) sudah hilang dari meja makan karena tak terjangkau. Cara pakai cabe itu tidak dilahap, tapi cukup dipegang tangan kiri. Tangan kanan melahap nasi dan lauk, tangan kiri tetap teguh pegang lombok.
Agar kelihatan santap di meja makan nikmat, maka sambil menyantap nasi dan ikan, cabe itu dicolokkan ke mata. Airmata akan terus menetes sepanjang makan. Jika ada tamu datang, sang tamu tak bisa membedakan tuan rumah kecolok atau kepedasan. Ini sebagai bagian dari filosofi ada tada (gengsi) ala Manado.
Tapi kenapa harga cabe yang biasanya ribuan rupiah itu tiba-tiba membumbung hingga di atas seratus ribu rupiah per kilogramnya? Itu tidak lepas dari kebijakan dan kebiasaan di negeri ini, latah dan tidak terencana. Satu tanam cabe semua ikut tanam cabe. Satu panen cabe semua panen. Dan ketika paceklik sekarang ini, semuanya haga, kata orang Manado. Lolhak-lolhok. Bogo-bogo, kayak orang blo'on!
Cabe hanyalah satu di antara sekian puluh atau ratus kebutuhan sehari-hari kita. Itu tidak beda dengan beras, gula, tembakau, kopi, teh, buah-buahan atau sayur yang kelak juga akan hilang dari bumi Indonesia. Semua 'tidak mampu' ditanam untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dan semua kadang berlebih hingga supply dan demand roh hukum pasar tidak seimbang.
Tapi kenapa cabe mahal kita menyalahkan pemerintah? Itu karena yang tanggung soal itu memang pemerintah. Negeri seluas ini pola tanamnya tidak terintegrasi. Rencana tata ruang kota dan wilayah (RTRW) tidak berjalan. Orang dan daerah sesukanya menanam seragam yang menyebabkan lombok semahal sekarang ini.
Otonomi daerah (Otda) yang diharap mampu mengakselerasi pembangunan daerah jadi mandeg dan kontra-produktif. Tampil arogansi dan over confident yang berlebih, seakan daerah itu adalah tanah perdikan yang lepas kendali dari gerbong besar yang bernama Indonesia.
Padahal Otda adalah mimikri dari federal, federasi atau negara bagian. Istilah itu tidak dipakai hanya karena mengingatkan masa kelam Republik Indonesia Serikat (RIS) buatan Belanda. Jika itu dijalankan dengan benar, saya yakin dampaknya luar biasa bagi percepatan pembangunan daerah bersangkutan.
Kita mungkin perlu belajar dari India. Otda yang disana bernama negara bagian jalan dengan baik. Mumbay dijadikan sentra ekspor-impor, pintu masuk barang dari dan ke negeri ini. Pune sebagai pusat teknologi dan industri, dan New Delhi sebagai area pemerintahan. Berkat itu negeri yang separuh penduduknya miskin itu tampil dengan gagah. Sebagai terhebat teknologi informasinya di dunia, dan sebagai runner up untuk teknologi nuklirnya.
Ketika mengunjungi negeri ini dan kemana-mana naik taksi Fiat butut dengan argo sistem manual, menginap di hotel dengan fasilitas AC 'jelek' serta pemandangan rumah karton di jalanan protokol Mumbay, saya sempat sombong membandingkan itu dengan Indonesia yang serba 'wah'.
Β
Teman India yang saya 'sombongi' tidak menjawab. Dia hanya memandangi saya yang sedang berbusa-busa membanggakan negeri tercinta. Tapi usai saya bicara, teman itu dengan tenang memegang baju saya. Dia singkat bilang 'made in Amerika'. Dia pegang celana saya sambil berkata 'made in England'. Dia pegang sepatu saya seraya berujar 'made in Italy'.
Setelah itu dia ganti memegang bajunya 'made in India'. Dia pegang celananya 'made in India'. Dia pegang sepatunya 'made in India'. Dan dia tunjuk mobil yang diparkir 'made in India'.
Saya diam seribu bahasa. Hati saya teriris. Saya terperangah malu. Betapa jatidiri sebagai bangsa Indonesia hanya terletak dalam bahasa. Tubuh ini telah berganti menjadi manekuin untuk mempromosikan berbagai produk negara lain.
Jadi, agar kekayaan negeri ini mampu mensejahterakan rakyatnya, selain perencanaan yang terintegrasi dan 'patuh' terhadap rencana, yang tak kalah penting adalah kecintaan terhadap produk dalam negeri. Tanpa itu, maka ke depan yang langka tidak hanya lombok, tetapi juga bangsa ini. Hilang terkikis zaman!
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.
(vit/vit)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini