Kehadiran Presiden Joko Jokowi' Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC, ASEAN, dan G20 merupakan ujian pertama, langsung, dan nyata bagi reorientasi politik luar negeri Indonesia (Polugri) pada 2014-2019. Orientasi polugri pemerintahan Jokowi tidak lagi menganut thousand friends zero enemies seperti pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Reorientasi polugri di era pemerintahan Jokowi mengarahkan Indonesia menjadi poros maritim dunia.
Pelaksanaan reorientasi itu tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Reorientasi lebih diarahkan pada upaya mengambil manfaat sebesar-besarnya dari diplomasi Indonesia (termasuk pada ketiga KTT itu) bagi kepentingan nasional Indonesia. Dalam rangka itu, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi telah mencanangkan 'diplomasi untuk rakyat' (diplomacy for people atau people's diplomacy). Diplomasi ini sebagai komitmen serius Menlu Retno mewujudkan visi dan misi Presiden Jokowi dalam polugri. Melalui diplomasi untuk rakyat ini, orientasi diplomasi Jokowi tentu saja diharapkan dapat memberikan warna berbeda dalam praktek diplomasi ekonomi pada ketiga KTT itu.
Setelah 10 tahun pemerintahan Presiden SBY berhasil mengangkat citra Indonesia dalam diplomasi internasional, orientasi polugri Jokowi dan Kabinet Kerja adalah 'mengisi' arti penting dari diplomasi yang diabdikan untuk mandiri dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya di antara bangsa-bangsa di dunia. Dengan demikian, diplomasi yang berorientasi inwards- looking menjadi lebih penting bagi Presiden Jokowi dan Menlu Retno daripada sekedar membangun citra.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, Jokowi tetap 'blusukan' selama di Beijing. Kunjungan ke pembangkit listrik tenaga batubara dan pelabuhan di Tianjin merupakan upaya serius Jokowi mewujudkan visi dan misi pemerintahannya. Diplomasi model 'blusukan' di tengah kunjungan ke negara lain ini perlu dilihat sebagai bagian penting untuk melihat dan mendengar langsung prestasi pembangunan di negara lain. Apalagi diplomasi 'blusukan' itu terkait erat dengan pembangunan maritim di Indonesia.
Ketiga, kehadiran Presiden Jokowi di forum multilatetal APEC ternyata lebih banyak didominasi oleh diplomasi bilateral dalam rangka membangun kemitraan strategis. Jika forum multilateral lebih banyak bertujuan membangun citra internasional, maka pertemuan bilateral diharapkan lebih memberi hasil nyata bagi perekonomian domestik.
Pada KTT APEC, ASEAN, dan G20, Presiden Jokowi memang berkesempatan menjelaskan visi dan misinya dalam pembangunan ekonomi pada 2014-2019. Pidato Presiden Jokowi lebih banyak merupakan formalitas atau perkenalan sebagai 'pemain' baru di panggung internasional. Sebaliknya, berbagai pemimpin dunia akan mengidentifikasi peluang-peluang kerjasama dengan pemerintahan baru di Indonesia. Identifikasi itu juga termasuk sejauh mana perubahan dan kesinambungan dalam orientasi, program, dan sektor kerjasama.
Meskipun demikian, pertemuan bilateral menjadi forum penting bagi Presiden Jokowi untuk menegaskan perubahan dan kelangsungan kerjasama bilateral selama ini. Pertemuan bilateral dengan Presiden Tiongkok Xi Jinpin, Presiden AS Barack Obama, Presiden Russia Vladimir Putin, Presiden Vietnam Truong Tan Sang, dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe didasarkan kepentingan bilateral masing-masing. Sektor ekonomi (-maritim) menjadi tema paling dominan dalam forum-forum bilateral itu. Sedangkan dengan AS, Presiden Jokowi lebih mempertajam kerjasama dalam bidang pertahanan-keamanan.
Melalui kemitraan strategis, hubungan bilateral dibangun dalam kerangka kerjasama yang lebih bersifat mengikat dan meliputi beberapa bidang prioritas. Presiden SBY telah mengembangkan kemitraan strategis dengan berbagai negara. Oleh karena itu, Presiden Jokowi perlu mempertajam dan mempertegas bidang-bidang kerjasama itu sesuai dengan visi maritimnya.
Pertimbangan utama dalam diplomasi bilateral di bidang ekonomi adalah memaksimalkan kepentingan nasional dan manfaatnya bagi rakyat Indonesia. Keberpihakan kepada rakyat, kepemilikan domestik, penguatan produsen domestik, dan akses masyarakat terhadap kerjasama bilateral itu merupakan beberapa isu sensitif dalam proses keterlibatan asing pada pembangunan Indonesia. Penegasan isu-isu ini penting agar kerjasama bilateral yang diinisiasi oleh Presiden Jokowi dapan memberdayakan kemampuan ekonomi nasional.
Ujian pertama diplomasi Presiden Jokowi pada KTT APEC tampaknya telah berhasil dijalankan. Kehadiran Presiden Jokowi pada KTT APEC itu seakan menjadi 'magnet' baru dalam kerjasama regional di kawasan Asia Pasifik. Diplomasi bilateral telah dijalankan dan komitmen kelanjutan kerjasama telah disampaikan. Namun demikian, yang lebih penting adalah bukti bahwa diplomasi itu dapat memberi manfaat riil dan langsung bagi rakyat Indonesia.
Keterangan Penulis:
Penulis adalah dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta; dan peneliti pada Indonesia Center for Democracy, Diplomacy, and Defence/IC3D). (es/es)