Mantan perdana menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad melaporkan PM Malaysia Anwar Ibrahim ke polisi terkait Perjanjian Perdagangan Timbal Balik atau Agreement on Reciprocal Trade (ART) antara Malaysia dan Amerika Serikat.
Menurut media lokal Sinar Harian, Mahathir mengklaim bahwa tindakan Anwar tersebut diambil tanpa mandat penuh dari badan-badan yang seharusnya mewakili Federasi Malaysia.
"Perjanjian itu tidak sah karena beliau (Anwar) bukan satu-satunya perwakilan Federasi. Perjanjian semacam itu seharusnya memerlukan persetujuan dari empat badan utama: Yang di-Pertuan Agong, Dewan Rakyat, Dewan Penguasa, dan eksekutif (pemerintah)," kata Mahathir dalam konferensi pers setelah membuat laporan di Markas Besar Kepolisian Distrik Putrajaya pada 2 Desember.
Mahathir mengatakan persetujuan dari keempat pihak tersebut tidak diperoleh, sehingga perjanjian tersebut inkonstitusional.
"Dokumen perjanjian itu setebal 400 halaman, tetapi tidak pernah diungkapkan kepada publik. Ada banyak klausul yang menyatakan bahwa kekuasaan negara kita diserahkan kepada Amerika Serikat, yang mengharuskan kita untuk merujuk tindakan kepada mereka dan memungkinkan mereka menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan," ujar Mahathir, dilansir The Straits Times, Kamis (4/12/2025).
Mengomentari status dan posisi bumiputera, sebutan untuk orang pribumi dan Melayu, dalam perjanjian tersebut, Mahathir mengatakan tidak disebutkan secara langsung dalam klausul.
"Dalam perjanjian ini, semua hak istimewa bumiputera tidak bisa diberlakukan pada barang atau perdagangan Amerika. Ini berarti kekuasaan AS mengesampingkan hak istimewa bumiputera, dan manfaat apa pun yang diberikan kepada bumiputera juga harus diberikan kepada AS," tuturnya.
(ita/ita)