Presiden Prancis Emmanuel Macron berada di bawah tekanan, bahkan dari sekutu politiknya, untuk segera menemukan solusi atas kebuntuan politik yang menyelimuti Prancis. Salah satu mantan Perdana Menteri (PM), yang dulu pernah menjadi sekutu Macron, mendesaknya untuk mengundurkan diri demi kepentingan negara.
Macron yang menjabat sejak tahun 2017, seperti dilansir AFP, Rabu (8/10/2025), berjuang menghadapi krisis politik domestik terburuk selama masa jabatannya, setelah PM ke-7 selama eranya berkuasa, Sebastien Lecornu, mengajukan pengunduran diri mendadak pada Senin (6/10).
Macron telah menerima pengunduran diri Lecornu, namun memberinya waktu hingga Rabu (8/10) malam untuk merumuskan kompromi bagi pemerintahan koalisi yang berkelanjutan. Namun upaya ini masih jauh dari pasti akan berhasil.
Jika upaya ini gagal, salah satu opsi bagi Macron adalah membubarkan parlemen dan menggelar pemilu legislatif mendadak dengan harapan mendapatkan susunan legislatif yang lebih efektif.
Macron, menurut salah satu ajudannya yang meminta tidak disebut namanya, melakukan pembicaraan dengan para ketua majelis tinggi dan majelis rendah parlemen Prancis pada Selasa (7/10) malam.
Tujuan pertemuan terpisah itu tidak dijelaskan secara rinci, tetapi presiden wajib berkonsultasi dengan kedua ketua majelis dalam parlemen jika pemilu baru direncanakan.
Setelah berganti tiga PM hanya dalam kurun waktu satu tahun, Macron menghadapi kegusaran yang semakin meluas, termasuk dari kubunya sendiri.
Juru bicara kepresidenan Prancis, Aurore Berge, menegaskan pada Selasa (7/10) bahwa Macron akan tetap menjabat "hingga menit terakhir masa jabatannya" pada tahun 2027.
(nvc/ita)