Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat Antony Blinken mendarat di Israel pada hari Jumat (22/3) untuk melakukan pembicaraan dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengenai perang di Gaza.
Pertemuan ini dilakukan menjelang voting Dewan Keamanan (DK) PBB mengenai rancangan resolusi yang diajukan AS tentang perlunya gencatan senjata "segera" di Gaza, yang memungkinkan masuknya lebih banyak bantuan.
Dilansir kantor berita AFP, Jumat (22/3/2024), Washington mengumumkan akan mengajukan voting DK PBB pada hari Jumat (22/3) waktu setempat atas draf resolusi mengenai perlunya "gencatan senjata segera sebagai bagian dari kesepakatan penyanderaan". Sebelumnya, AS telah berulang kali menggunakan hak veto untuk memblokir resolusi gencatan senjata di Gaza.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak lama setelah tiba di Tel Aviv, Blinken memulai pembicaraan dengan Netanyahu. Tekanan terhadap pemimpin Israel tersebut dari Washington dan sekutu lainnya semakin meningkat sehubungan dengan perang Israel melawan Hamas di Gaza.
Sebelumnya, pemerintah Israel menyatakan bahwa pihaknya melanjutkan operasi militer untuk hari kelima di rumah sakit Al-Shifa, fasilitas medis terbesar di wilayah Gaza yang terkepung.
Amerika Serikat, yang memberikan bantuan militer senilai miliaran dolar kepada Israel, semakin vokal mengenai dampak perang yang berlangsung hampir enam bulan terhadap warga sipil di Gaza.
Israel telah berjanji untuk mengirim pasukan ke titik paling selatan Gaza, Rafah, untuk melawan militan Hamas di sana. Dengan sebagian besar penduduk Gaza berlindung di daerah sepanjang perbatasan Mesir tersebut, kemungkinan serangan darat ini telah memicu kekhawatiran internasional.
Sebelumnya, Blinken mengatakan serangan darat di Rafah adalah "sebuah kesalahan".
"Tidak ada tempat bagi warga sipil yang berkumpul di Rafah untuk menghindari bahaya," katanya di Kairo, Mesir sebelum kunjungan ke Israel.
"Ada cara-cara yang lebih baik untuk menghadapi ancaman yang ditimbulkan oleh Hamas," imbuhnya.
Sebanyak 27 pemimpin Uni Eropa juga mendesak agar operasi darat di Rafah tidak dilakukan. Mereka mengatakan bahwa hal tersebut "akan memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah menimbulkan bencana".