Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta bantuan sebesar US$294 juta (Rp 4,6 triliun) untuk memenuhi 'kebutuhan paling mendesak' di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Bantuan ini diperlukan setelah lebih dari 400.000 warga Palestina di Gaza mengungsi dari rumah mereka dalam beberapa waktu terakhir akibat perang Hamas vs Israel.
Seperti dilansir AFP, Jumat (13/10/2023), Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menyatakan bahwa dana itu akan digunakan untuk membantu lebih dari 1,2 juta orang. Disebutkan juga bahwa pertempuran di wilayah tersebut telah membuat kelompok bantuan tidak memiliki sumber daya yang memadai.
Pada Sabtu (7/10) lalu, militan bersenjata Hamas menyerbu kota-kota kecil, kibbutzim -- daerah kantong pertanian kecil, dan festival musik di Israel, membunuh lebih dari 1.200 orang dan menyandera sekitar 150 orang lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Israel membalas dengan serangan udara besar-besaran ke Jalur Gaza -- daerah kantong Palestina berpenduduk 2,3 juta orang -- dengan meratakan bangunan-bangunan di sana dan menewaskan lebih dari 1.400 orang, banyak dari mereka adalah warga sipil.
OCHA menyatakan bahwa kebutuhan kemanusiaan yang diperparah oleh eskalasi konflik di Jalur Gaza pada Mei lalu dan memburuknya situasi di Tepi Barat telah 'membuat organisasi kemanusiaan tidak memiliki sumber daya yang diperlukan untuk merespons secara memadai seluruh kebutuhan warga Palestina yang rentan'.
PBB sebelumnya memperkirakan dibutuhkan dana US$ 502 untuk mendanai operasional untuk membantu 2,1 juta warga Palestina tahun 2023 ini, tujuan yang baru mendapatkan pendanaan kurang dari 50 persen. Nyaris 60 persen keluarga di Jalur Gaza dianggap rawan pangan sebelum perang terbaru pecah.
Hingga Kamis (12/10) malam, menurut data OCHA, jumlah pengungsi di Jalur Gaza meningkat di atas 84.400 orang, hingga mencapai lebih dari 423.300 orang.
Simak berita selengkapnya di halaman berikutnya.
Setelah serangan Israel terhadap infrastruktur air dan penghentian pasokan air oleh Israel ke Jalur Gaza sejak Minggu (8/10) lalu, menurut laporan OCHA, 'sebagian besar penduduk di Jalur Gaza tidak lagi memiliki akses terhadap air minum dari penyedia layanan atau air domestik melalui pipa'.
"UNICEF melaporkan bahwa beberapa orang mulai meminum air laut," imbuh laporan OCHA.
"Fasilitas kesehatan kewalahan, persediaan obat-obatan terbatas dan akses ke rumah sakit serta perawatan medis terhambat oleh permusuhan yang terus berlanjut dan jalan-jalan yang rusak," sebut OCHA dalam laporannya.
OCHA menambahkan bahwa Jalur Gaza menjadi rumah bagi sekitar 50.000 wanita hamil -- 5.000 wanita di antaranya akan melahirkan pada bulan mendatang -- yang 'berjuang mengakses layanan kesehatan penting ketika petugas kesehatan, rumah sakit, dan klinik diserang'.
Sementara itu, dengan fokus beralih ke Jalur Gaza, sebut OCHA, 'situasi di Tepi Barat masih tegang', dengan terjadinya konfrontasi antara militer Israel dan warga Palestina, kekerasan pemukim Yahudi, dan 'penutupan ekstensif yang diberlakukan di sekitar kota-kota Tepi Barat' berdampak pada akses layanan penting.