Utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pendidikan global, Gordon Brown, menyerukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengadili para pemimpin Taliban atas dugaan kejahatan kemanusiaan karena memutus akses ke pendidikan dan pekerjaan untuk anak perempuan dan wanita Afghanistan.
Seperti dilansir Associated Press, Rabu (16/8/2023), seruan disampaikan Brown dalam konferensi pers virtual PBB yang digelar pada Selasa (15/8) waktu setempat, saat peringatan dua tahun Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan, setelah pemerintahan sipil yang didukung Barat kolaps.
Ditegaskan Brown dalam pernyataannya bahwa para pemimpin Taliban bertanggung jawab atas 'pelanggaran terhadap hak-hak anak perempuan dan wanita yang paling mengerikan, kejam dan tidak bisa dimaafkan di dunia saat ini'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Brown yang juga mantan Perdana Menteri (PM) Inggris periode tahun 2007-2010 ini, mengatakan dirinya telah mengirimkan pendapat hukum kepada jaksa ICC Karim Khan yang menunjukkan bahwa pemutusan akses ke pendidikan dan pekerjaan merupakan 'diskriminasi gender'.
"Diskriminasi gender yang harus dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, dan harus diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional," cetus Brown.
Taliban mengambil alih kekuasaan di Kabul pada Agustus 2021, pada minggu-minggu terakhir pasukan Amerika Serikat (AS) dan NATO ditarik keluar dari Afghanistan setelah 20 tahun berperang di sana.
Sama seperti pemerintahan mereka sebelumnya di Afghanistan tahun 1996-2001 silam, Taliban secara bertahap menerapkan kembali interpretasi radikal mereka terhadap hukum Islam, dengan melarang anak perempuan bersekolah mulai kelas enam ke atas dan melarang wanita untuk bekerja, berada di ruang publik, gym dan baru-baru ini melarang salon kecantikan.
Simak berita selengkapnya di halaman berikutnya.
Saksikan juga 'Saat Taliban Tutup Paksa Salon Kecantikan di Afghanistan':
Dalam pernyataannya, Brown juga menyerukan kepada negara-negara mayoritas Muslim untuk mengirimkan delegasi ulama ke Kandahar, Afghanistan, yang menjadi kampung halaman pemimpin tertinggi Taliban Hibatullah Akhundzada, untuk menyatakan bahwa larangan untuk pendidikan dan pekerjaan bagi wanita 'tidak memiliki dasar dalam Al-Qur'an atau pun dalam agama Islam' dan agar Taliban mencabut larangan semacam itu.
Brown mengatakan dirinya meyakini 'ada perpecahan di dalam rezim', dengan banyak orang di Kementerian Pendidikan dan di kalangan pemerintah di Kabul yang ingin melihat hak mengakses pendidikan untuk perempuan dipulihkan kembali.
"Dan saya meyakini para ulama di Kandahar telah berdiri teguh melawannya, dan makanya terus mengeluarkan instruksi-instruksi," sebut Brown dalam konferensi pers virtual tersebut.
Belum ada tanggapan terbaru dari Taliban soal seruan Brown itu. Namun, juru bicara utama Taliban, Zabihullah Mujahid, menepis pertanyaan soal pembatasan terhadap perempuan Afghanistan saat diwawancara Associated Press di Kabul pada Senin (14/8) waktu setempat. Dia menegaskan status quo akan tetap ada.
Dalam wawancara itu, Mujahid juga mengatakan bahwa Taliban memandang pemerintahan mereka di Afghanistan sebagai pemerintahan tanpa batasan, menarik legitimasi dari hukum Islam dan tidak menghadapi ancaman signifikan.
Sementara itu, Brown menyebut sebanyak 54 dekrit, dari total 80 dekrit yang dikeluarkan Taliban, secara eksplisit menargetkan wanita, yang mencabut hak-hak mereka. Dekrit terbaru melarang wanita mengikuti ujian universitas dan mengunjungi tempat umum, termasuk pemakaman untuk memberikan penghormatan pada keluarga mereka.
Selama 20 tahun Taliban tidak menguasai Afghanistan, menurut Brown, sebanyak 6 juta perempuan mengenyam pendidikan, bahkan menjadi dokter, pengacara, hakim, anggota parlemen dan menteri kabinet. Saat ini, lanjutnya, sekitar 2,5 juta perempuan terputus akses ke pendidikan dan 3 juta lainnya akan lulus dari Sekolah Dasar (SD) dalam beberapa tahun ke depan.
"Jadi kita kehilangan talenta seluruh generasi," sebutnya.
Brown menyerukan adanya tindakan dan tekanan global, bukan hanya kata-kata, untuk meyakinkan Taliban agar memulihkan kembali hak-hak perempuan.
"Kita belum melakukan hal yang cukup dalam dua tahun terakhir. Saya tidak menginginkan satu tahun lagi berlalu ketika anak perempuan di Afghanistan dan para wanita di sana merasa mereka tidak berdaya karena kita belum berbuat cukup untuk mendukung mereka," tegasnya.