Parlemen Thailand mengonfirmasi akan kembali menggelar pemungutan suara untuk memilih perdana menteri baru pada minggu depan. Pemungutan suara akan kembali digelar setelah para anggota parlemen pro-kerajaan menggagalkan upaya calon pemimpin liberal Pita Limjaroenrat untuk menduduki jabatan tertinggi di Thailand itu.
Dilansir kantor berita AFP, Jumat (14/7/2023), Partai Move Forward (MFP) pimpinan Pita memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan umum pada Mei lalu, dengan didukung oleh kaum muda Thailand yang menginginkan reformasi progresif setelah sembilan tahun pemerintahan yang didukung militer.
Namun, upaya jutawan lulusan Harvard itu untuk memimpin pemerintahan, digagalkan pada Kamis (13/7) oleh para senator yang ditunjuk militer, yang tidak setuju dengan janjinya untuk mereformasi undang-undang pencemaran nama baik kerajaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemungutan suara pada Kamis itu dilakukan hanya sehari setelah badan pemilihan tertinggi kerajaan merekomendasikan Mahkamah Konstitusi menangguhkan Pita sebagai anggota parlemen.
Parlemen Thailand akan mengadakan pemungutan suara kedua untuk memilih perdana menteri baru pada 19 Juli mendatang, kata wakil ketua DPR Pichet Chuamuangphan kepada AFP.
"Jadwalnya sama," kata Pichet, membenarkan laporan media lokal tentang kapan pemungutan suara akan diadakan.
Pichet, juga anggota parlemen untuk mitra koalisi MFP, Pheu Thai, mengatakan masih belum jelas apakah Pita akan dicalonkan kembali atau apakah dia akan menghadapi kandidat tambahan dalam pemungutan suara berikutnya.
"Kami masih harus membicarakannya terlebih dahulu," katanya. "Untuk saat ini, mengumpulkan pendapat dan umpan balik dari orang-orang," imbuhnya.
Simak Video 'Alasan Pita Limjaroenrat Tak Jadi PM Thailand Meski Menang Pemilu':
Pita bersikeras bahwa dia tetap menjadi kandidat untuk memimpin pemerintahan berikutnya, dan "tidak menyerah" meskipun secara keseluruhan hanya memperoleh 324 suara - jauh dari 375 suara yang dia butuhkan.
Hanya 13 senator yang memilih kandidat progresif tersebut, dengan banyak yang menyuarakan penolakan mereka terhadap platform MFP dalam mereformasi undang-undang pencemaran nama baik kerajaan yang ketat di negara itu.
Sebelumnya, pada hari Rabu (12/7), Mahkamah Konstitusi Thailand menerima kasus yang menuduh Pita dan partainya telah berusaha menggulingkan monarki dengan amandemen yang direncanakan, membuat pengusaha berusia 42 tahun itu terancam diberhentikan dari parlemen.
Dilansir DW, Jumat (14/7/2023), Komisi Pemilihan Umum juga mendukung penangguhan Pita dari parlemen atas tuduhan melanggar peraturan kampanye, di mana Pita dianggap tidak mengumumkan kepemilikan atas saham pada perusahaan media, yang dilarang bagi anggota parlemen Thailand. Pita membantah semua tuduhan, namun dirinya terancam hukuman penjara jika terbukti bersalah.
"Ada upaya untuk menghalangi, bukan menghalangi saya, tetapi menghalangi pemerintah mayoritas rakyat untuk menjalankan negara dengan berbagai cara," ungkap Pita kepada ThaiRath TV, Kamis (13/7).