Seorang perempuan di India Gunjan Tiwari (nama samaran) mengajukan petisi untuk mengakhiri praktik maskawin atau 'dowry' ilegal. Dia mengatakan petisi itu berawal dari pengalamannya ditolak puluhan pria gara-gara masalah dowry.
Dilansir BBC, Sabtu (8/7/2023), dowry merupakan praktik di mana keluarga pengantin wanita diharapkan memberi hadiah uang tunai, pakaian, dan perhiasan kepada keluarga pengantin pria. Dowry sendiri telah dinyatakan ilegal di India sejak 1961, namun praktiknya masih tetap ada dan dilakukan warga.
Gunjan Tiwari yang berusia 27 tahun dan tinggal pusat kota Bhopal akhirnya memulai petisi yang meminta polisi untuk mengerahkan petugas di tempat-tempat pernikahan. Dia meminta aparat melakukan penggerebekan untuk mengakhiri praktik yang disebutnya sebagai 'kejahatan sosial'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gunjan mengaku baru mengalami penolakan oleh pihak pria pada bulan Februari lalu. Saat itu, ayahnya mengundang seorang pemuda dan keluarganya ke rumah mereka dengan harapan menemukan pasangan yang cocok untuknya.
Setelah orang tuanya berbasa-basi dengan para tamu, Gunjan masuk ke ruang tamu sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir teh panas serta penganan untuk para tamu. Perempuan itu menggambarkan momentum tersebut 'mengerikan'.
"Semua orang menatap saya, mereka semua mengukur saya," kata Gunjan lewat sambungan telepon dari rumahnya.
Kapan, dan bagaimana Gunjan akan muncul di hadapan para tamu telah direncanakan dengan cermat. Ibunya memilihkan pakaian hijau untuknya karena dia pikir putrinya terlihat sangat cantik saat mengenakannya.
Dia mengatakan sang ibu juga meminta Gunjan tidak tertawa supaya tidak menarik perhatian pada giginya yang tidak rata. Gunjan sudah sangat akrab dengan latihan ini karena sudah melakukannya enam kali dalam beberapa tahun.
Pertanyaan yang diajukan para tamu kepadanya juga sudah akrab, yakni tentang pendidikan, pekerjaannya, dan apakah dia bisa memasak. Sebelum memasuki ruangan, Gunjan mendengar orang tuanya bertanya kepada ayah calon pengantin pria berapa maskawin yang dia harapkan.
"Kami dengar mereka menginginkan 5 juta hingga 6 juta rupee (Rp 914 juta-Rp 1 miliar). Ketika ayah saya bertanya kepadanya, dia berkelakar 'kalau putri Anda cantik, kami akan kasih diskon'," katanya.
Dia juga menyebut keluarga calonnya itu bertanya kepadanya tentang giginya yang tidak rata dan tahi lalat di dahinya. Setelah minum teh, Gunjan diberi waktu beberapa menit untuk berbicara dengan calon pengantin pria secara pribadi. Gunjan mengatakan kepadanya tidak akan menikah karena urusan maskawin.
"Dia (calon pengantin pria) sepakat bahwa itu adalah kejahatan sosial," kata Gunjan, seraya menambahkan bahwa itu membuatnya berpikir bahwa pria ini berbeda dari lelaki-lelaki lain yang dia temui sejauh ini.
Keluarganya tak lama kemudian mendapat kabar bahwa Gunjan telah ditolak lagi oleh si pria. Dia menyebut ibunya sangat marah.
"Ibu saya mengatakan ini gara-gara sikap antimaskawin saya. Beliau sangat marah pada saya dan tidak berbicara dengan saya selama lebih dari dua minggu," katanya.
Gunjan mengatakan dalam enam tahun terakhir, ayahnya sudah menghubungi 'keluarga 100-150 bujangan yang memenuhi syarat' dan menemui lebih dari dua lusin dari mereka. Gunjan sendiri telah dihadirkan di hadapan enam dari mereka. Hampir semuanya, kata dia, tidak jadi menikah gara-gara maskawin.
"Karena penolakan-penolakan ini saya kehilangan semua kepercayaan diri saya," kata Gunjan yang menyandang gelar Master di bidang matematika.
"Kalau saya berpikir rasional, saya tahu bukan saya yang kurang, masalahnya adalah dengan orang-orang yang menginginkan maskawin. Tapi saya sering merasa seperti beban buat orang tua saya," sambungnya.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya
Kendati 'maskawin', baik memberi maupun menerima, telah ilegal selama lebih dari 60 tahun, tapi penelitian baru-baru ini menyebut 90 persen pernikahan di India masih menerapkannya. Pembayaran maskawin antara tahun 1950 dan 1999 berjumlah seperempat triliun dolar.
Banyak orang tua anak perempuan yang sampai berutang atau menjual tanah dan rumah demi memenuhi tuntutan maskawin dari keluarga pria. Itu semua belum tentu menjamin kehidupan yang bahagia bagi pengantin wanita.
Menurut Biro Catatan Kejahatan Nasional, 35.493 pengantin wanita dibunuh di India antara 2017 dan 2022 di mana rata-rata 20 perempuan sehari. Penyebabnya ialah tidak membawa maskawin yang cukup.
Para aktivis mengatakan mahar juga merupakan salah satu alasan di balik rasio gender India yang timpang. PBB memperkirakan hampir 400 ribu janin perempuan diaborsi setiap tahun menggunakan tes skrining jenis kelamin pra-kelahiran oleh keluarga yang khawatir anak perempuan akan membebani mereka dengan maskawin.
Dalam petisinya yang ditujukan kepada Harinarayan Chari Mishra, kepala polisi Bhopal, Gunjan mengatakan satu-satunya solusi adalah menggerebek tempat-tempat pernikahan dan menangkap mereka yang kedapatan memberi atau menerima mas kawin.
Dia menilai 'Ketakutan akan hukuman' akan membantu 'menghentikan praktik kejam ini'. Pekan lalu, dia bertemu Mishra untuk meminta bantuannya dalam perjuangannya.
"Maskawin adalah kejahatan sosial dan kami berkomitmen untuk mengakhirinya. Saya telah mengarahkan semua kantor polisi untuk memberikan bantuan yang tepat kepada setiap perempuan yang melapor," kata Mishra.
"(Tapi) polisi punya keterbatasan, mereka tidak bisa hadir di mana-mana dan kita perlu meningkatkan lebih banyak kesadaran tentang persoalan ini, untuk mengubah pola pikir," sambungnya.
Aktivis hak-hak perempuan India, Kavita Srivastava, mengatakan polisi sangat bisa membantu, tapi menangani persoalan maskawin adalah masalah yang kompleks.
"India bukan negara polisi, tapi ada undang-undang larangan maskawin dan kami butuh penegakan hukum yang lebih baik," ucapnya.
Maskawin, kata Srivastava, seringkali bukan pembayaran sekali lunas bagi keluarga pengantin pria yang serakah. Dia mengatakan keluarga pria terus menuntut lebih banyak, bahkan setelah anak mereka menikah dengan si wanita karena 'itu uang gampang, cara cepat untuk jadi kaya'.
Srivastava juga memberi contoh perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan bahkan diusir dari rumah perkawinan karena tidak mampu memenuhi tuntutan terus-menerus dari keluarga pengantin pria. Momok maskawin, katanya, hanya bisa dilawan jika para pemuda dan pemudi mulai mengambil sikap serta menolak untuk memberi atau menerima maskawin.
Gunjan mengaku ingin menikah karena 'hidup itu panjang dan saya tidak bisa menghabiskannya sendirian'. Tetapi, dia yakin tidak mau membayar maskawin. Tetapi seiring waktu, keputusasaan keluarganya untuk menemukan pasangan untuknya terus tumbuh.
"Di antara kerabat saya di desa leluhur saya di distrik Etawah di negara bagian tetangga Uttar Pradesh, perempuan berusia 25 tahun sudah dianggap tua di pasar pernikahan," ucapnya.
Jadi ayahnya secara rutin menjelajahi kolom biro jodoh di surat kabar dan meminta para kerabat untuk menyalakan 'radar' dan memberi tahu dia kalau mereka menemukan pasangan yang cocok.
Sang ayah telah bergabung dengan grup WhatsApp beranggotakan lebih dari 2.000 orang dari kasta yang sama tempat keluarga seperti mereka berbagi resume anak-anak mereka.
"Sebagian besar menginginkan pernikahan mewah yang harganya 5 juta rupee (Rp 900 juta) atau lebih. Ayah saya hanya mampu membayar setengah dari itu," kata Gunjan, seraya menambahkan bahwa dia hanya akan menikah tanpa maskawin telah membuat kehidupan orang tuanya lebih sulit.
"Ayah saya bilang baru enam tahun sejak dia mulai mencarikan pengantin pria untuk saya. Tanpa maskawin, katanya, dia tidak akan dapat menemukan pasangan yang cocok bahkan kalau dia mencari selama 60 tahun," ujar Gunjan.