Perdana Menteri (PM) Thailand Prayut Chan-O-Cha membubarkan parlemen di negara itu pada Senin (20/3) waktu setempat. Pembubaran parlemen itu membuka jalan untuk digelarnya pemilu yang kemungkinan akan dilaksanakan pada Mei mendatang, dengan Prayut berniat memperpanjang kekuasaannya.
Seperti dilansir AFP, Senin (20/3/2023), pernyataan resmi via Royal Gazette pada awal pekan ini mengumumkan pembubaran parlemen Thailand, dan selanjutnya Komisi Pemilu akan mengonfirmasi secara resmi tanggal digelarnya pemilu dalam waktu yang akan ditentukan kemudian.
Kemungkinan besar pemilu Thailand akan digelar pada 7 atau 14 Mei mendatang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemilu itu nantinya akan menjadi pemilu kedua yang digelar sejak kudeta militer tahun 2014 lalu, dan menjadi yang pertama sejak Thailand diguncang unjuk rasa prodemokrasi besar-besaran yang dipimpin kaum muda di Bangkok tahun 2020 lalu.
Prayut yang mantan panglima militer Thailand dan berkuasa sejak kudeta tahun 2014 ini akan berhadapan dengan cucu perempuan dari mantan PM Thaksin Shinawatra, yang sosoknya masih membayangi dunia politik di negara itu meskipun dia hidup mengasingkan diri selama lebih dari satu dekade terakhir.
Paetongtarn Shinawarta yang memimpin partai oposisi utama Pheu Thai, memegang posisi kuat dalam sejumlah jajak pendapat jelang pemilu di Thailand. Namun konstitusi Thailand yang disusun oleh junta militer tahun 2017 lalu akan mempersulit partai oposisi itu untuk mengamankan posisi puncak.
Aktivitas kampanye tidak resmi telah digelar dalam beberapa pekan terakhir, dengan naiknya biaya hidup dan lambatnya pemulihan pascapandemi virus Corona (COVID-19) masuk dalam topik utama.
Prayut yang berusia 68 tahun mampu memperkuat kekuasaannya dalam pemilu kontroversial tahun 2019 lalu dan telah menunjukkan mampu menjabat untuk jangka waktu lama yang tergolong langkah dalam politik Thailand.
Namun dalam jajak pendapat yang dirilis Minggu (19/3) waktu setempat, Prayut hanya menempati posisi ketiga dengan perolehan suara 15 persen untuk pertanyaan siapa yang ingin dilihat oleh para responden sebagai PM Thailand selanjutnya.
Posisi Prayut itu jauh di belakang Paetongtarn yang menempati posisi pertama dengan perolehan suara 38 persen.
Dalam jajak pendapat yang sama yang dilakukan terhadap 2.000 orang oleh Institut Pembangunan Nasional, nyaris 50 persen responden menyatakan akan memilih Partai Pheu Thai, sedangkan Partai Bangsa Thailand Bersatu yang menaungi Prayut hanya meraup 12 persen dukungan responden.
Partai Pheu Thai menargetkan untuk meraup kemenangan sangat besar untuk mencegah otoritas militer memblokir jalan mereka menuju kekuasaan tertinggi di Thailand, juga menghindari terulangnya insiden tahun 2018 ketika partai ini meraih banyak kursi parlemen namun disingkirkan dari pemerintahan.
Begitu Komisi Pemilu meresmikan hasil akhir pemilu Thailand, parlemen akan menunjuk seorang PM untuk menjabat sementara pada Juli mendatang.
Di bawah Konstitusi Thailand tahun 2017 yang disusun oleh junta militer, seorang PM akan dipilih oleh 500 anggota majelis rendah parlemen dan 250 senator yang semuanya ditunjuk oleh militer.
Jika berhasil, Paetongtarn akan menjadi anggota keluarga Shinawatra ketiga yang menjadi PM Thailand setelah ayah dan bibinya Yingluck, yang dilengserkan dalam kudeta yang dipimpin Prayut tahun 2014 lalu.
Jajak pendapat juga mengindikasikan bahwa Partai Pheu Thai memiliki peluang untuk menang, karena banyak pemilih mengaku muak denga Prayut dan kurangnya kemajuan yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari mereka.