Kepolisian Inggris menuai kritikan terkait perlakuan terhadap para demonstran antimonarki, yang secara terbuka menantang naik takhtanya Raja Charles III. Sejumlah penangkapan dilakukan polisi terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu iring-iringan prosesi jelang pemakaman Ratu Elizabeth II.
Seperti dilansir AFP, Rabu (14/9/2022), rekaman video yang viral di media sosial pada Senin (12/9) waktu setempat menunjukkan seorang demonstran wanita membawa poster bertuliskan 'Bukan Raja Saya' dan langsung diamankan oleh empat polisi di luar gedung parlemen Inggris di London.
Wanita itu kemudian dikawal polisi menjauh dari lokasi itu dan diharuskan berdiri di lokasi lainnya yang jauh dari gerbang parlemen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengacara dan aktivis iklim, Paul Powlesland, mengungkapkan secara terpisah via Twitter bahwa dirinya diperingatkan polisi, jika dia berisiko ditangkap setelah mengangkat sebuah kertas kosong di seberang gedung parlemen.
"Dia mengonfirmasi bahwa jika saya menulis, 'Bukan Raja Saya' di kertas itu, dia akan menangkap saya di bawah Undang-undang Ketertiban Publik karena seseorang mungkin tersinggung," tulis Powlesland dalam postingan Twitter, yang menyertakan video dirinya berbicara dengan polisi.
UU Ketertiban Publik tahun 1986 memberikan wewenang kepada polisi untuk menangkap orang-orang yang dinilai bersalah menyebabkan 'pelecehan, ketakutan atau bahaya' melalui 'kata-kata atau perilaku mengancam, atau perilaku tidak tertib', termasuk mengangkat tanda-tanda tertentu.
Inggris sedang dalam masa berkabung untuk Ratu Elizabeth II yang wafat pada Kamis (8/9) lalu. Kematian Ratu berusia 96 tahun itu memicu momen persatuan nasional yang langka di tengah limpahan simpati, namun juga memicu pertanyaan soal ruang untuk perbedaan pendapat.
Kelompok-kelompok kebebasan sipil memperingatkan bahwa kepolisian gagal menghormati hak-hak minoritas yang antimonarki.
"Jika orang-orang ditangkap hanya karena memegang poster berisi protes maka itu merupakan penghinaan terhadap demokrasi dan sangat mungkin melanggar hukum," sebut Big Brother Watch yang merupakan organisasi kebebasan sipil non-profit di Inggris, dalam pernyataannya.
Lihat juga video 'Seorang Pria Bikin Onar saat Prosesi Peti Ratu Elizabeth II':
"Polisi memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak masyarakat menggelar protes sebagaimana mereka memiliki kewajiban memfasilitasi hak masyarakat untuk menyatakan dukungan, kesedihan atau memberikan penghormatan mereka," imbuh pernyataan itu.
Dalam insiden lainnya, seorang pria berusia 45 tahun ditangkap di Oxford, Inggris selatan, pada Minggu (12/9) waktu setempat setelah meneriakkan 'Siapa yang memilihnya' saat penetapan Raja Charles III sebagai Raja Inggris dibacakan di depan umum.
Jodie Beck dari kelompok kampanye Liberty, menegaskan bahwa hak berunjuk rasa merupakan 'bagian penting dari demokrasi yang sehat dan berfungsi'.
"Sangat mengkhawatirkan untuk melihat polisi menegakkan kekuasaan mereka yang luas dengan cara yang berat dan menghukum untuk menekan kebebasan berbicara dan berekspresi," cetusnya.
Dalam pernyataannya, Kepolisian Metropolitan London tampaknya mengakui tindakan 'terlalu bersemangat' dari sejumlah personelnya.
"Masyarakat sepenuhnya berhak untuk berunjuk rasa," tegas wakil asisten komisioner pada Kepolisian Metropolitan London, Stuart Cundy.
"Kami telah menjelaskan hal ini kepada semua petugas yang terlibat dalam operasi kepolisian luar biasa yang saat ini berlangsung dan kami akan terus melakukannya," imbuhnya.
Sebelumnya, Kepolisian Skotlandia mengumumkan penangkapan tiga orang, termasuk seorang pria yang meneriaki olok-olokan berbunyi 'pria tua sakit' kepada Pangeran Andrew, adik Raja Charles III.
Kolumnis Marina Hyde dalam tulisan berjudul 'Inggris suka menganggap dirinya sebagai tempat lahirnya kebebasan berbicara -- hingga seseorang mengolok-olok Pangeran Andrew' yang dimuat surat kabar sayap kiri, The Guardian, menyebut demokrasi di Inggris sedang diuji.