Pemerintah Armenia mengatakan bahwa setidaknya 49 tentaranya tewas dalam pertempuran dengan pasukan Azerbaijan. Ini merupakan pertempuran terparah antara musuh bebuyutan itu sejak perang mereka pada tahun 2020 atas wilayah Nagorno-Karabakh yang diperebutkan.
"Untuk saat ini, kami memiliki 49 (tentara) tewas dan sayangnya itu bukan angka akhir," kata Perdana Menteri (PM) Armenia Nikol Pashinyan kepada parlemen di ibu kota Armenia, Yerevan, seperti dilansir kantor berita AFP, Selasa (13/9/2022).
Dia mengatakan intensitas pertempuran telah mereda setelah gempuran sengit dari Azerbaijan yang dimulai semalam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, pemerintah Armenia meminta bantuan para pemimpin dunia, dengan mengatakan bahwa pasukan Azerbaijan berusaha untuk maju ke wilayahnya.
Kantor Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengatakan dia telah menelepon Presiden Prancis Emmanuel Macron, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken untuk menuntut "reaksi yang memadai" terhadap "tindakan agresif Azerbaijan."
Sebelumnya, Kementerian Pertahanan Azerbaijan mengatakan pasukannya merespons provokasi Armenia dan membantah klaim bahwa mereka menyerang infrastruktur sipil.
"Angkatan bersenjata Azerbaijan melakukan langkah-langkah terbatas dan terarah, menetralisir posisi menembak Armenia," katanya dalam sebuah pernyataan.
Armenia mengatakan bahwa pasukan Azerbaijan "meluncurkan gempuran intensif, dengan artileri dan senjata api kaliber besar, terhadap posisi militer Armenia ke arah kota Goris, Sotk, dan Jermuk" tak lama setelah tengah malam.
Namun, Kementerian Pertahanan Azerbaijan menuduh Armenia melakukan "tindakan subversif skala besar" di dekat distrik Dashkesan, Kelbajar dan Lachin di perbatasan.
Dua negara bertetangga itu telah berperang dua kali - pada 1990-an dan 2020 - atas wilayah Nagorno-Karabakh, daerah kantong Azerbaijan yang berpenduduk Armenia.
Separatis etnis Armenia di Nagorno-Karabakh pertama kali memisahkan diri dari Azerbaijan ketika Uni Soviet runtuh pada tahun 1991. Konflik berikutnya merenggut sekitar 30.000 jiwa.