Amerika Serikat mengutuk junta Myanmar karena mengeksekusi mati empat tahanan, termasuk seorang mantan anggota parlemen dari partai Aung San Suu Kyi dan seorang aktivis pro-demokrasi terkemuka.
"Kami mengutuk eksekusi rezim militer terhadap para pemimpin pro-demokrasi dan pejabat terpilih karena menjalankan kebebasan fundamental mereka," kata Kedutaan AS di Yangon, Myanmar dalam sebuah pernyataan di akun Twitter resminya seperti dilansir dari kantor berita AFP, Senin (25/7/2022).
Seorang pelapor khusus PBB juga mengutuk eksekusi mati tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Orang-orang ini diadili, dihukum, dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan militer tanpa hak banding dan dilaporkan tanpa penasihat hukum, melanggar hukum hak asasi manusia internasional," ujar Tom Andrews, pelapor khusus untuk situasi hak asasi manusia di Myanmar, dalam sebuah pernyataan.
Andrews mengatakan dia "hancur" mendengar pembunuhan itu dan mendesak masyarakat internasional untuk mengambil "tindakan tegas" terhadap rezim militer atas "pembunuhan yang meluas dan sistematis terhadap pengunjuk rasa, serangan tanpa pandang bulu terhadap seluruh desa, dan sekarang eksekusi para pemimpin oposisi."
Media pemerintah Myanmar melaporkan eksekusi mati empat tahanan ini merupakan penerapan hukuman mati pertama di negara itu dalam puluhan tahun. Dilansir dari kantor berita AFP, Senin (25/7/2022), surat kabar Global New Light of Myanmar melaporkan keempat tahanan itu dieksekusi mati karena memimpin "aksi teror brutal dan tidak manusiawi".
Surat kabar itu mengatakan eksekusi dilakukan "di bawah prosedur penjara" tanpa mengatakan kapan atau bagaimana orang-orang itu dibunuh.
Junta Myanmar telah menghukum mati puluhan aktivis anti-kudeta sebagai bagian dari tindakan kerasnya terhadap perbedaan pendapat setelah merebut kekuasaan tahun lalu, tetapi Myanmar tidak melakukan eksekusi mati selama beberapa dekade, terakhir kali pada tahun 1988.
Salah satu yang dieksekusi mati, Phyo Zeya Thaw, merupakan mantan anggota parlemen dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi yang ditangkap pada November tahun lalu. Dia dijatuhi hukuman mati pada Januari lalu karena pelanggaran di bawah undang-undang anti-terorisme.
Phyo Zeya Thaw telah dituduh mengatur beberapa serangan terhadap pasukan rezim, termasuk serangan senjata di kereta komuter di Yangon pada Agustus tahun lalu yang menewaskan lima polisi. Seorang pionir hip-hop yang sajak subversifnya membuat kesal junta sebelumnya, dia dipenjara pada tahun 2008 karena keanggotaan dalam organisasi ilegal dan kepemilikan mata uang asing. Dia terpilih menjadi anggota parlemen yang mewakili NLD dalam pemilu 2015, yang mengantarkan transisi ke pemerintahan sipil.
Aktivis demokrasi Kyaw Min Yu - lebih dikenal sebagai "Jimmy" - menerima hukuman yang sama dari pengadilan militer.
Dua pria lainnya dijatuhi hukuman mati karena membunuh seorang wanita yang mereka duga adalah informan junta di Yangon.
Bulan lalu, junta Myanmar dikritik habis-habisan oleh dunia internasional ketika mengumumkan niatnya untuk melaksanakan eksekusi mati. Namun, juru bicara junta Myanmar, Zaw Min Tun membela hukuman mati, dengan mengatakan hukuman itu dibenarkan dan digunakan di banyak negara.