Balutan Kontroversi Pertemuan Biden dan Putra Mahkota Saudi

Novi Christiastuti - detikNews
Sabtu, 16 Jul 2022 20:01 WIB
Biden dan MBS (Foto: Bandar Aljaloud/Saudi Royal Palace via AP)
Jeddah -

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden bertemu dengan Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS). Pertemuan ini jadi yang pertama terjadi usai pembunuhan wartawan Saudi, Jamal Khashoggi, pada 2018 oleh para agen Saudi di Turki.

Dilansir dari BBC, Sabtu (16/7/2022), kontroversi telah mengiri langkah Biden sebelum bertemu MBS. Biden awalnya bertemu dengan Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, di daerah yang diduduki Israel, Tepi Barat.

Biden mengulangi komitmen penyelesaian dua negara dalam konflik Israel dan Palestina pada pertemuannya. Namun, Biden tidak merespons seruan Abbas membuka kembali konsulat Palestina di Yerusalem Timur dan pencabutan status teroris organisasi Pembebasan Rakyat Palestina (PLO) dari daftar teroris di AS.

Dalam kunjungan ke Tepi Barat, Biden mengaku ingin meningkatkan hubungan kedua belah pihak yang dibekukan oleh Palestina karena kebijakan mantan Presiden AS Donald Trump terkait Israel.

Usai bertemu Abbas, Biden tebang ke Saudi. Penerbangan ini juga menjadi kontroversi karena Biden menjadi presiden AS pertama yang melakukan penerbangan langsung dari Israel ke Saudi. Langkah Riyadh menerima penerbangan langsung dari Israel ini dianggap signifikan setelah puluhan tahun memboikot sebagai solidaritas atas Palestina.

Selain bertemu dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman, Biden juga akan bertemu dengan Raja Salman.

Mohammed bin Salman telah membantah dirinya terlibat dalam pembunuhan Khashoggi. Namun badan intelijen AS menyimpulkan MBS menyepakati pembunuhan itu.

Pembicaraan antara kedua belah pihak mencakup masalah pasokan energi, hak asasi manusia dan kerja sama keamanan. Arab Saudi merupakan produsen minyak terbesar dunia dan upaya memperbaiki hubungan ini dilakukan menyusul melonjaknya harga minyak akibat perang Rusia di Ukraina.

Pada Kamis (14/7) malam, Arab Saudi mengumumkan akan membuka ruang udara untuk penerbangan komersial Israel, keputusan yang disambut oleh AS. Langkah ini akan membuka ruang udara Saudi untuk semua penerbangan ke dan dari Israel.

Kritik untuk Kunjungan Biden ke Saudi

Pada saat Gedung Putih mengumumkan Joe Biden akan ke Arab Saudi, sejumlah aktivis berunjuk rasa di luar kedutaan Arab Saudi untuk meresmikan jalan yang disebut 'Khashoggi Way'.

Para demonstran mengatakan jalan itu merupakan pengingat bagi para diplomat 'yang bersembunyi di belakang pintu-pintu itu'. Mereka menyebut pemerintah kerajaan Saudi bertanggung jawab atas pembunuhan Jamal Khashoggi.

"Bila masalah minyak dikedepankan di belakang nilai kemanusiaan, bisakah Anda paling tidak bertanya di mana tubuh Jamal? Bukankah dia layak mendapatkan pemakaman layak?" kata tunangan Khashoggi, Hatice Cengiz, dalam pernyataan yang dibacakan demonstran.

Kontroversi Penekanan Biden soal HAM

Selama puluhan tahun, hubungan AS dan Saudi selalu menyangkut prinsip AS dan kepentingan strategis. Namun, Biden secara eksplisit menekankan hak asasi manusia atau HAM dalam hubungan kedua negara.

Tetapi, Biden tampaknya berisiko kehilangan kredibilitasnya terkait pendekatan yang menekankan prinsip-prinsip mendasar dalam kebijakan luar negeri. Pembunuhan Khashoggi menyatukan dua pihak yang berseberangan pendapat di Washington. Khashoggi disebut dibunuh dan dipotong-potong di konsulat Saudi di Istanbul.

Begitu berkuasa, Biden menghentikan penjualan senjata dan menolak berbicara dengan MBS. Namun, langkah tersebut diragukan dapat dipertahankan karena MBS mungkin segera menjadi pemimpin Saudi.

Hubungan kedua belah pihak pun mulai melunak dalam setahun terakhir. Perang di Ukraina semakin mendorong Biden melunak karena kepentingan minyak.

Melonjaknya harga minyak menjadi pemicu AS meminta Saudi untuk memproduksi minyak lebih demi menekan harga. Riyadh pada awalnya menolak permintaan itu.

Namun tak lama sebelum kunjungan Biden diumumkan, OPEC Plus, kelompok produsen minyak dengan Saudi sebagai pemimpinnya, menyepakati sedikit kenaikan produksi.

Para analis mengatakan mungkin ada kesepakatan dengan Saudi untuk kembali menaikkan produksi begitu kesepakatan kuota yang ada saat ini berakhir pada September. Tetapi, hal itu mungkin tidak akan disinggung dalam pertemuan kali ini.

Pakar keamanan energi di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Ben Cahill menilai pembahasan keduanya adalah manajemen jangka panjang pasar energi pada masa yang tidak stabil seperti saat ini.

"Saya rasa ada gagasan di Gedung Putih bahwa mereka perlu memulai dialog konstruktif dengan banyak pihak di dunia minyak dan dimulai dengan Arab Saudi," katanya.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.




(haf/haf)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork