Pengadilan Prancis menjatuhkan vonis penjara seumur hidup pada pelaku serangan teror di Paris pada November 2015 yang menewaskan 130 orang.
Salah Abdeslam, seorang pria Prancis berusia 32 tahun asal Maroko, ditangkap hidup-hidup oleh polisi empat bulan setelah pertumpahan darah di gedung konser Bataclan dan lokasi-lokasi lainnya. Dia menjadi satu-satunya pelaku yang masih hidup usai serangan mengerikan oleh kelompok ISIS di ibu kota Prancis itu. Serangan itu merupakan serangan paling mematikan dalam sejarah masa damai Prancis.
Dilansir dari kantor berita AFP, Kamis (30/6/2022), dalam persidangan di pusat Paris pada Rabu (29/6) waktu setempat, Salah Abdeslam dihukum penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hukumannya cukup berat," kata salah satu korban selamat, Sophie, kepada AFP saat dia meninggalkan pengadilan tersebut. "Saya merasa sangat lega," tuturnya usai putusan menyusul persidangan yang telah memakan waktu sekitar 9 bulan.
Persidangan tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah Prancis modern, puncak dari penyelidikan internasional selama enam tahun, yang temuannya mencapai lebih dari satu juta halaman.
19 tersangka lainnya, yang dituduh merencanakan atau menawarkan dukungan logistik, juga dinyatakan bersalah, dengan hukuman berkisar antara dua tahun hingga penjara seumur hidup.
Semua pelaku serangan kecuali Abdeslam meledakkan diri atau dibunuh oleh polisi selama atau setelah serangan tersebut.
Abdeslam mengawali persidangannya pada September 2021 lalu dengan secara menantang menyatakan dirinya sebagai "pejuang ISIS". Namun, di akhir persidangan saat itu, dengan meneteskan air mata dia meminta maaf kepada para korban dan meminta keringanan hukuman.
Dalam pernyataan terakhirnya, dia mendesak para hakim untuk tidak memberinya hukuman seumur hidup. Dia mencoba menekankan bahwa dia sendiri tidak membunuh siapa pun.
"Saya melakukan kesalahan, itu benar. Tapi saya bukan pembunuh, saya bukan pembunuh," katanya.
Pengacaranya juga menentang hukuman seumur hidup yang dituntut jaksa.
Di malam serangan di Paris itu, Abdeslam melepaskan sabuk bom bunuh diri yang dikenakannya dan melarikan diri ke kampung halamannya, Brussels.
Dia mengatakan kepada pengadilan bahwa dia telah berubah pikiran dan memutuskan untuk tidak membunuh orang.
"Saya berubah pikiran karena kemanusiaan, bukan karena takut," tegas Abdeslam.
Namun, jaksa berpendapat bahwa dia memainkan peran kunci dalam mengatur serangan dan bahan peledaknya semata-mata tidak berfungsi saat serangan tersebut.