Dua tahun pandemi virus Corona (COVID-19) berlangsung, kemunculan wabah-wabah baru COVID-19 di China memicu banyak pertanyaan. Salah satunya soal bagaimana China menghitung angka kematian akibat Corona dan mengapa angka kematian akibat Corona tetap rendah meskipun jumlah kasus baru terus meningkat.
Seperti dilansir AFP, Selasa (26/4/2022), Shanghai yang merupakan kota terbesar di China mencatatkan 109 kematian dari total 520.000 kasus Corona lebih selama nyaris dua bulan terakhir -- sebagian kecil dari tingkat wabah yang dipicu varian Omicron di belahan dunia lainnya.
Angka itu diklaim oleh Partai Komunis yang berkuasa di China sebagai bukti bahwa pendekatan ketat nol-COVID telah berhasil. Namun, para pakar menyebut data itu sendiri tidak mewakili keseluruhan situasi pandemi di China.
Bagaimana China menghitung angka kematian akibat Corona?
Shanghai -- kota paling terdampak gelombang Corona terkini di China -- telah mencatat tingkat kematian kasus (CFR) sebesar 0,036 persen, atau yang berarti ada 36 kematian setiap 100.000 orang yang terinfeksi sejak 1 Maret lalu.
China berhasil menekan kasus Corona domestik hingga ke level rendah sebelum wabah terbaru mencuat. Meskipun demikian, angka kematian masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya yang dipuji sebagai kisah sukses COVID-19.
"Jika Shanghai memiliki CFR yang sama dengan Selandia Baru -- 0,07 persen dalam wabah Omicron terkini -- maka itu akan memicu lebih dari 300 kematian," sebut profesor kesehatan umum pada Universitas Otago di Selandia Baru, Michael Baker, kepada AFP.
China sejauh ini mencatat total kurang dari 5.000 kematian akibat Corona, meskipun melaporkan nyaris 200.000 kasus Corona dengan gejala dan lebih dari 470.000 kasus Corona tanpa gejala sejak awal pandemi.
Beberapa negara diketahui menggunakan metodologi yang berbeda untuk mengidentifikasi dan menghitung angka kematian akibat Corona, sehingga membuat perbandingan menjadi sulit.
Simak juga 'Penampakan Penduduk Beijing yang Panic Buying':
(nvc/ita)