Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menggugat Hillary Clinton, rivalnya dalam pilpres 2016, terkait tuduhan tim kampanyenya berkolusi dengan Rusia. Trump juga menggugat sejumlah politikus Partai Demokrat lainnya.
Seperti dilansir Reuters, Jumat (25/3/2022), gugatan hukum ini mencakup daftar panjang keluhan Trump yang berulang kali dilontarkan sepanjang empat tahun berkantor di Gedung Putih usai mengalahkan Hillary. Gugatan ini diajukan ke sebuah pengadilan federal di Florida.
"Bertindak secara bersama-sama, para tergugat secara jahat berkonspirasi membuat narasi palsu bahwa rival Republikan mereka, Donald J Trump, berkolusi dengan kedaulatan asing yang bermusuhan," demikian penggalan dokumen gugatan Trump setebal 108 halaman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokumen gugatan itu menuduh para tergugat, termasuk Hillary, melakukan 'persekongkolan' dan 'konspirasi untuk melakukan kebohongan yang merugikan' di antara tuduhan lainnya.
Belum ada komentar resmi dari perwakilan Hillary yang mantan Ibu Negara AS dan mantan Menteri Luar Negeri AS ini.
Gugatan hukum itu menuntut kompensasi dan ganti rugi. Disebutkan Trump dalam gugatannya bahwa dirinya 'dipaksa mengeluarkan biaya yang jumlahnya akan ditentukan dalam persidangan, tapi diketahui melebihi 24 juta dolar (AS) (Rp 344 miliar) dan terus bertambah, dalam bentuk biaya pembelaan, biaya legal dan pengeluaran terkait'.
Salah satu tergugat dalam gugatan hukum ini adalah Christopher Steele yang merupakan mantan agen intelijen Inggris. Diketahui bahwa berkas yang disusun Steele, yang diedarkan ke Biro Investigasi Federal (FBI) dan outlet media sebelum pilpres 2016, mencantumkan pernyataan tak terbukti soal Rusia memiliki informasi memalukan soal Trump dan penasihat kampanyenya, juga bahwa Rusia bekerja di belakang layar untuk membuat Hillary kalah.
Laporan Komisi Senat AS setebal 966 halaman tahun 2020 menyimpulkan Rusia menggunakan agen politik Partai Republik, Paul Manafort, dan situs WikiLeaks untuk berupaya membantu Trump memenangkan pilpres 2016. Manafort diketahui bekerja dalam tim kampanye kepresidenan Trump selama lima bulan pada tahun 2016 lalu.
Dugaan campur tangan Rusia dalam pilpres AS, yang dibantah Moskow, memicu penyelidikan selama dua tahun yang dipimpin penasihat khusus Robert Mueller. Tahun 2019, Mueller merilis laporan lengkap yang menyebutkan secara detail berbagai keterkaitan antara pemerintah Rusia dan tim kampanye Trump, namun tidak menjeratkan dakwaan konspirasi kriminal terhadap rekanan Trump.
Mueller dalam laporannya menyebut 'pemerintah Rusia menganggap akan mendapatkan keuntungan dari kepresidenan Trump dan bekerja untuk mengamankan hasil itu, dan bahwa kampanye berharap akan mendapatkan keuntungan secara elektoral dari informasi yang dicuri dan dirilis melalui upaya Rusia'.