Kelompok pemberontak pro-Rusia di Ukraina bagian timur menuduh pasukan pemerintah Ukraina menggunakan mortir untuk menyerang wilayah mereka. Serangan mortir ini dianggap melanggar perjanjian yang bertujuan mengakhiri konflik di wilayah tersebut.
Dilansir dari Reuters, Kamis (17/2/2022), serangan mortir itu dilaporkan oleh kantor berita Rusia, RIA, pada Kamis (17/2) waktu setempat.
Rusia diketahui mengerahkan lebih dari 100.000 tentara ke dekat perbatasan Ukraina sambil menuntut NATO berjanji untuk tidak menerima Ukraina, negara tetangganya, sebagai anggota aliansi tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengerahan tentara Rusia itu memicu kekhawatiran negara-negara Barat dan NATO bahwa Rusia berencana menginvasi Ukraina. Tuduhan ini berulang kali dibantah oleh Rusia.
Namun, negara-negara Barat mengancam Rusia dengan sanksi-sanksi baru jika negara itu benar-benar menyerang Ukraina.
Penembakan sporadis dilaporkan terjadi di wilayah-wilayah yang dikuasai pemberontak pro-Rusia dalam beberapa tahun terakhir. Namun eskalasi dalam konflik bertahun-tahun dengan separatis di Donbass, Ukraina bagian timur, bisa mengobarkan ketegangan antara Rusia dan negara-negara Barat.
Menurut laporan RIA, perwakilan dari Republik Rakyat Luhansk -- kota di Ukraina bagian timur yang memproklamirkan kemerdekaannya -- menyebut pasukan militer Ukraina menggunakan mortir, peluncur granat dan senapan mesin pada Kamis (17/2) waktu setempat.
"Angkatan Bersenjata Ukraina telah secara kasar melanggar rezim gencatan senjata, di mana penggunaan senjata berat, menurut perjanjian Minsk, harus ditarik," ucap perwakilan wilayah Luhansk, seperti dilansir Interfax News Agency.
Belum ada tanggapan resmi dari pemerintah Ukraina maupun Presiden Volodymyr Zelensky soal tuduhan serangan mortir ini.