Pemerintah China geram dan mengutuk parlemen Prancis pada hari Jumat (21/1/2022) karena mengeluarkan resolusi yang menuduh Beijing melakukan genosida terhadap penduduk Muslim Uighur.
"Resolusi Majelis Nasional Prancis tentang Xinjiang mengabaikan fakta-fakta dan pengetahuan hukum dan sangat mencampuri urusan dalam negeri China," cetus juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian pada konferensi pers reguler.
"China dengan tegas menentangnya," imbuhnya seperti dilansir dari kantor berita AFP, Jumat (21/1/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Resolusi soal Xinjiang yang tidak mengikat itu disetujui untuk diadopsi oleh parlemen Prancis dalam voting pada Kamis (20/1) waktu setempat, dengan 169 suara mendukung dan hanya satu suara yang menentang.
Resolusi tersebut menambah panjang daftar negara-negara Barat yang telah mengkritik Beijing karena menempatkan sekitar satu juta orang Uighur di kamp-kamp kerja paksa.
Ini berarti Majelis Nasional Prancis bergabung dengan para anggota parlemen di Kanada, Belanda, Inggris dan Belgia yang telah meloloskan mosi serupa. Pemerintah Amerika Serikat juga secara resmi menuduh China melakukan genosida di Xinjiang barat.
Resolusi itu diajukan oleh partai oposisi Sosialis di majelis rendah parlemen Prancis, tapi juga didukung oleh Partai Republik Bergerak (LREM) yang dipimpin Presiden Emmanuel Macron.
Disebutkan dalam resolusi itu bahwa Majelis Nasional Prancis 'secara resmi mengakui bahwa tindak kekerasan yang dilakukan oleh Republik Rakyat China terhadap Uighur merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida'.
Resolusi itu juga menyerukan pemerintah Prancis untuk mengambil 'langkah-langkah yang diperlukan dalam komunitas internasional dan dalam kebijakan luar negeri terhadap Republik Rakyat China' untuk melindungi kelompok minoritas di Xinjiang tersebut.
"China adalah kekuatan besar. Kami mencintai orang-orang China. Tapi kami menolak untuk tunduk pada propaganda dari rezim yang mengandalkan kepengecutan dan ketamakan untuk melakukan genosida di depan mata," ujar Ketua Partai Sosialis, Oliver Faure.
Lebih lanjut, dia menceritakan kesaksian para penyintas Uighur yang mengungkapkan kondisi di dalam kamp-kamp penahanan di mana pria dan wanita tidak bisa berbaring di dalam sel, menjadi korban pemerkosaan dan penyiksaan, serta adanya transplantasi organ secara paksa.
Beberapa organisasi hak asasi manusia menuduh China telah mengurung setidaknya satu juta warga Muslim di Xinjiang.
Beijing menyangkal angka tersebut dan menggambarkan kamp-kamp itu sebagai "pusat pelatihan kejuruan" untuk mendukung upaya memerangi ekstremisme agama.