Tingginya permintaan bahan makanan dikombinasikan dengan melonjaknya biaya pengiriman, dan kekurangan pekerja akibat penyebaran cepat virus Corona (COVID-19) varian Omicron, telah memicu babak baru kekurangan pasokan kebutuhan pokok di Amerika Serikat (AS).
Seperti dilansir Reuters, Selasa (18/1/2022), situasi itu berdampak pada tertundanya operasional perusahaan makanan olahan dan produk segar, yang secara tidak langsung memicu kosongnya rak-rak produk makanan di supermarket-supermarket AS, bahkan di retailer terbesar di negara tersebut.
Para petani di sepanjang Pantai Barat AS harus membayar biaya yang lebih tinggi, dilaporkan naik nyaris tiga kali lipat jika dibandingkan sebelum pandemi, untuk mengirimkan produk yang mudah rusak seperti selada dan buah beri sebelum membusuk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Shay Myers yang merupakan CEO Owyhee Produce, yang menanam bawang, semangka dan asparagus di sepanjang perbatasan negara bagian Idaho dan Oregon, menuturkan pihaknya menunda pengiriman produk bawang ke distributor retail hingga biaya pengiriman menurun.
Dituturkan Myers bahwa gangguan transportasi selama tiga pekan terakhir, yang disebabkan oleh kurangnya tenaga sopir truk pengiriman dan badai yang memblokir sejumlah ruas jalan raya beberapa waktu terakhir, telah menaikkan biaya pengiriman buah-buahan dan sayuran hingga dua kali lipat.
"Kami biasanya akan mengirimkan, Pantai Timur ke Pantai Barat -- kami biasanya mengirimkannya untuk sekitar US$ 7.000 (Rp 100 juta)," ucap Myers.
"Hari ini berkisar antara US$ 18.000 (Rp 258 juta) hingga US$ 22.000 (Rp 315,3 juta)," imbuhnya.
Para konsumen mengeluhkan via media sosial soal hilangnya produk pasta dan daging di sejumlah toko Walmart di wilayah AS. Produk ayam dilaporkan nyaris tidak ada di toko Meijer di Indianapolis, sedangkan tisu toilet dan produk kebersihan rumah dilaporkan hilang di Palm Beach, Florida.
Retailer Costco bahkan sampai membatasi pembelian tisu toilet di beberapa tokonya di negara bagian Washington.
Wakil Presiden Komunikasi dan Penelitian pada Asosiasi Merek Konsumen, Katie Denis, memperkirakan situasinya akan berlangsung setidaknya beberapa pekan ke depan. Dia menyalahkan kelangkaan produk pokok itu pada kekurangan tenaga kerja.
Lebih lanjut disebutkan Denis bahwa industri barang dalam kemasan kehilangan 120.000 pekerja. Sementara Asosiasi Penjual Bahan Makanan Nasional menyebut kebanyakan supermarket beroperasi dengan kurang dari 50 persen kapasitas tenaga kerja.
Para retailer AS kini menghadapi level out-of-stock 12 persen untuk produk makanan, minuman, produk kebersihan rumah dan pribadi, yang tercatat naik jika dibandingkan 7-10 persen pada masa-masa normal. Situasinya semakin memburuk dengan menurut Asosiasi Merek Konsumen, produk makanan mencapai level out-of-stock hingga 15 persen.