Presiden Mesir Abdel Fattah Al-Sisi mengumumkan pencabutan keadaan darurat di negara itu setelah berlaku selama lebih dari empat tahun. Keadaan darurat tersebut diterapkan sejak serangan brutal kelompok militan terhadap gereja-gereja Kristen Koptik.
Dilansir dari kantor berita AFP, Senin (25/10/2021), negara Afrika Utara tersebut berada dalam keadaan darurat sejak April 2017 setelah aksi pengeboman dua gereja Koptik yang dilakukan afiliasi kelompok ISIS. Lebih dari 40 orang tewas dalam serangan itu.
Jumlah warga Kristen Koptik mencapai kurang lebih 10 persen dari populasi keseluruhan Mesir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mesir telah menjadi, berkat rakyatnya yang hebat dan orang-orangnya yang loyal, sebuah oasis keamanan dan stabilitas di kawasan," ujar Sisi dalam postingan di Facebook.
"Inilah sebabnya saya memutuskan untuk membatalkan pembaruan keadaan darurat di seluruh negeri," imbuh pemimpin Mesir itu.
Di bawah keadaan darurat, wewenang polisi seperti menangkap dan menahan warga diperluas dan hak konstitusional seperti kebebasan berbicara dan berkumpul dibatasi.
Mesir selama beberapa tahun telah bergelut dengan pemberontakan militan. Serangan-serangan militan sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Semenanjung Sinai Utara, tetapi tak jarang juga terjadi di tempat lain di negara itu.
Sejak Februari 2018, pihak berwenang telah melakukan operasi nasional terhadap para militan, terutama difokuskan di Sinai Utara dan Gurun Barat negara itu, hingga menuju perbatasan dengan Libya.
Kelompok-kelompok hak asasi mengatakan keadaan darurat ditambah dengan larangan protes yang diterapkan pemerintah sejak 2013 telah membantu dalam memberantas para pembangkang.
Simak juga 'Presiden Mesir Beberkan Hasil Pertemuan dengan PM Baru Israel':