Pemerintah Ethiopia mengatakan bahwa pihaknya akan mengusir tujuh pejabat senior Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena "campur tangan" dalam urusan negara tersebut. Pengusiran ini meningkatkan kekhawatiran atas respons kemanusiaan di wilayah Tigray yang dilanda perang dan terancam kelaparan.
Seperti dilansir kantor berita AFP, Jumat (1/10/2021), Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres mengatakan dia "terkejut" dengan keputusan itu. Dia menyatakan kepercayaan penuh pada stafnya di Ethiopia dan mengatakan PBB berharap para pejabat itu akan diizinkan untuk kembali.
Menurut para diplomat, pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB akan diadakan secara tertutup pada Jumat (1/10) siang waktu setempat untuk membahas masalah tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gedung Putih mengutuk keras pengusiran pejabat PBB. Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki menyebutnya sebagai "tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengusir kepemimpinan semua organisasi PBB yang terlibat dalam operasi kemanusiaan yang sedang berlangsung".
Pengusiran itu, diumumkan oleh Kementerian Luar Negeri Ethiopia pada Kamis (30/9) waktu setempat, yang terjadi ketika negara terpadat kedua di Afrika itu mengadakan pemilihan untuk puluhan kursi parlemen federal, putaran terakhir pemungutan suara sebelum Perdana Menteri Abiy Ahmed membentuk pemerintahan baru minggu depan.
Tujuh pejabat PBB, termasuk kepala lokal badan anak-anak PBB UNICEF dan kantor koordinasi kemanusiaannya, telah dinyatakan "persona non grata" karena "campur tangan dalam urusan internal negara", kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan di situs resminya di laman Facebook.
"Menurut surat yang ditujukan kepada masing-masing dari tujuh orang yang tercantum di bawah ini, semuanya harus meninggalkan wilayah Ethiopia dalam 72 jam ke depan," kata kementerian.
Pejabat-pejabat pemerintah tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang pengusiran tersebut, meskipun beberapa target telah berbicara tentang kondisi mengerikan di Tigray.
Wilayah Tigray paling utara Ethiopia telah terperosok dalam konflik sejak November tahun lalu, ketika Abiy mengirim pasukan untuk menggulingkan partai penguasa regional, Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), sebuah langkah yang menurutnya dilakukan sebagai tanggapan atas serangan TPLF di kamp-kamp tentara.
Pertempuran berlangsung selama berbulan-bulan sebelum pemberontak Tigray merebut kembali ibu kota regional Mekele dan pasukan pemerintah sebagian besar mundur dari wilayah tersebut.
Sejak itu, TPLF melancarkan serangan ke wilayah tetangga Amhara dan Afar, sementara Tigray sendiri hanya menerima sekitar 10 persen dari bantuan yang dibutuhkannya.
Pada bulan Juli, PBB memperingatkan bahwa sekitar 400.000 orang di seluruh Tigray "melewati ambang kelaparan". Situasi telah memburuk sejak blokade de-facto mencegah sebagian besar bantuan masuk.
Bulan lalu, Ethiopia juga memerintahkan dua kelompok kemanusiaan yang aktif di Tigray - bagian dari Doctors Without Borders dan Dewan Pengungsi Norwegia - untuk menangguhkan kegiatan mereka, setelah menuduh mereka "menyebarkan informasi yang salah" secara online.
Kelompok HAM, Human Rights Watch mengatakan keputusan pengusiran pejabat PBB tersebut akan mempengaruhi "jutaan orang Tigray dan banyak orang Ethiopia lainnya yang membutuhkan di seluruh negeri".