Pengadilan Israel menunda pelaksanaan sidang kasus sengketa tanah yang bisa berujung penggusuran dua keluarga Palestina di distrik Silwan, Yerusalem Timur. Sengketa tanah serupa di distrik Sheikh Jarrah yang juga melibatkan keluarga Palestina dan pemukim Yahudi telah memicu konflik.
Seperti dilansir AFP, Kamis (27/5/2021), penundaan sidang diumumkan pengadilan Israel pada Rabu (26/5) waktu setempat, kurang dari tiga pekan setelah sengketa tanah serupa di Sheikh Jarrah memicu bentrokan yang berujung pertempuran selama 11 hari antara Israel dan Hamas serta militan lainnya di Gaza.
Sidang banding yang dijadwalkan digelar pada Rabu (26/5) waktu setempat, ditunda pelaksanaannya setelah pihak keluarga Palestina mengajukan petisi kepada Jaksa Agung untuk mempertimbangkan kasus tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kasus publik semacam ini harus menyertakan pendapat Jaksa Agung," tutur pengacara keluarga Palestina dalam kasus ini, Yazeed Qawaar.
"Jelas bahwa pemerintah mendukung proyek para pemukim dan oleh karena itu, tergantung pada Jaksa Agung untuk bertanggung jawab," imbuhnya.
Disebutkan Qawaar bahwa keluarga Palestina kini menunggu putusan soal apakah pengadilan distrik Yerusalem akan meneruskan dokumen kasus ini ke Jaksa Agung atau tidak. Putusan itu kemungkinan akan diberikan pekan depan.
Laporan koresponden AFP di lokasi sidang melaporkan kehadiran puluhan demonstran di luar gedung pengadilan. Para demonstran juga terdiri atas kerabat dari keluarga Palestina yang terlibat sengketa ini dan para aktivis perdamaian Israel.
"Apa yang Anda pikirkan, penjajah? Bangsa saya teguh dan tidak akan dipermalukan," demikian bunyi salah satu poster yang dibawa demonstran.
Kepala komisi lingkungan Batn al-Hawa, Zuheir Rajabi, menuturkan bahwa kasus tersebut menyangkut puluhan kerabatnya. "Keluarga-keluarga ini diberitahu pertama kalinya soal pengusiran pada November 2020, dan keputusannya dikonfirmasi pada Maret 2021," tuturnya.
Disebutkan bahwa tahun 1980-an, para pemukim Yahudi mulai pindah ke distrik Silwan, yang berada di lokasi -- menurut tradisi Yahudi -- Raja Daud membangun ibu kota sekitar 3.000 tahun lalu, yang menjadikan area itu suci dalam sejarah Yahudi. Sekarang ada ratusan pemukim Yahudi di Silwan, yang hidup berdampingan dengan sekitar 50 ribu warga Palestina.
Dalam gugatannya, para pemukim Yahudi mengutip dokumen abad ke-19 dari era Kekaisaran Ottoman, yang menguasai Yerusalem sebelum era mandat Inggris dimulai tahun 1920 silam, yang menunjukkan bahwa tanah Silwan dimiliki sebuah trust (peleburan badan usaha) Yahudi.
Keluarga-keluarga Palestina menyatakan pengadilan Israel tidak mengakui dokumen kepemilikan mereka dari otoritas Yordania yang menguasai Yerusalem Timur hingga tahun 1967, saat Israel menduduki sebagian kota itu.
Tahun 1970, Israel meloloskan undang-undang yang mengizinkan warga Yahudi mengklaim kembali properti-properti mereka yang hilang pada tahun 1948 saat Israel dibentuk atau sebelum itu. Para aktivis menyatakan bahwa undang-undang itu diskriminatif dan tidak menawarkan bantuan apapun kepada warga Palestina yang mungkin kehilangan tanah pada periode waktu yang sama, termasuk rumah-rumah yang sekarang berada di Yerusalem Barat.