AS Sita Sarung Tangan Buatan Malaysia karena Dugaan Kerja Paksa

AS Sita Sarung Tangan Buatan Malaysia karena Dugaan Kerja Paksa

Novi Christiastuti - detikNews
Selasa, 30 Mar 2021 17:56 WIB
Sarung Tangan
Ilustrasi (dok. Shutterstock)
Washington DC -

Otoritas Amerika Serikat (AS) akan menyita produk yang dibuat oleh Top Glove Malaysia setelah menyimpulkan bahwa perusahaan itu menggunakan kerja paksa. Langkah AS ini memberikan pukulan terbaru bagi produsen sarung tangan bedah terbesar di dunia itu.

Seperti dilansir AFP, Selasa (30/3/2021), keuntungan dan harga saham Top Glove melonjak tahun lalu karena negara-negara di seluruh dunia ramai-ramai membeli alat pelindung selama pandemi virus Corona (COVID-19).

Namun perusahaan yang bisa memproduksi lebih dari 96 miliar sarung tangan dalam setahun itu, diguncang serangkaian skandal termasuk wabah Corona di asrama yang menginfeksi ribuan pekerja migran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Otoritas Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP) telah melarang masuk sarung tangan dari dua anak perusahaan Top Glove tahun lalu, setelah menyatakan perusahaan itu diduga melakukan pelanggaran ketenagakerjaan.

AS mengambil langkah lebih jauh pada Senin (29/3) waktu setempat, dengan mengumumkan bahwa pihaknya memiliki 'informasi yang cukup' untuk menyimpulkan bahwa Top Glove menggunakan kerja paksa.

ADVERTISEMENT

Badan federal AS itu menyatakan akan menyita sarung tangan yang diproduksi perusahaan tersebut yang masuk ke pelabuhan-pelabuhan AS.

"CBP tidak akan mentoleransi eksploitasi pekerja yang rentan oleh perusahaan asing untuk menjual barang-barang murah yang dibuat secara tidak etis kepada konsumen Amerika," tegas seorang pejabat senior CBP, Troy Miller.

CBP juga menyatakan bahwa langkah itu tidak akan berdampak signifikan pada impor AS untuk sarung tangan sekali pakai, yang vital dalam memerangi pandemi Corona. Saham Top Glove turun lima persen usai pengumuman AS tersebut.

Saat mengumumkan larangan awal pada tahun lalu, CBP menyatakan keyakinan soal adanya bukti jeratan utang, kerja lembur yang berlebihan dan kondisi kerja serta kehidupan yang tidak layak dalam proses produksi Top Glove.

Dalam pernyataannya pada Selasa (30/3) waktu setempat, pihak Top Glove menyatakan mereka sedang berupaya menyelesaikan persoalan ini dengan otoritas AS.

"Top Glove memahami kekhawatiran semua stakeholder kami, termasuk CBP, untuk memastikan bahwa tidak ada kerja paksa dalam produksi sarung tangan dan alat pelindung diri," demikian pernyataan Top Glove.

"Ini menjadi prioritas utama bersama bagi Perusahaan, dan berupaya menyelesaikan setiap area yang memicu kekhawatiran segera," imbuh pernyataan tersebut.

Kebanyakan pekerja Top Glove disebut merupakan imigran dari Asia Selatan yang dibayar rendah, yang biasanya tinggal di asrama yang dihuni puluhan pria yang berbagi satu kamar dan tidur di ranjang susun.

Wabah Corona di asrama pekerja Top Glove menginfeksi sekitar 5.000 pekerja -- seperempat dari total tenaga kerja perusahaan tersebut -- dan menyebabkan penutupan sementara lebih dari separuh pabrik Top Glove di Malaysia.

Awal Maret lalu, Top Glove didakwa oleh otoritas Malaysia karena dianggap menyediakan tempat tinggal yang buruk bagi pekerjanya, dan menghadapi hukuman denda besar jika terbukti bersalah. Pihak Top Glove bersikeras tengah memperbaiki akomodasi pekerjanya dengan melakukan investasi besar dan membangun asrama baru.

Simak juga 'AS Curigai Laporan WHO soal Asal Corona, China: Tak Berdasar':

[Gambas:Video 20detik]



Halaman 2 dari 2
(nvc/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads