Sri Lanka dan China telah menandatangani kesepakatan pertukaran valuta asing senilai US$ 1,5 miliar atau setara Rp 21,6 triliun. Kesepakatan ini dicapai saat Sri Lanka tengah berjuang menghadapi krisis valuta asing dan pembayaran utang.
Seperti dilansir AFP, Selasa (23/3/2021), otoritas Sri Lanka telah berunding selama berbulan-bulan untuk mengamankan pinjaman dari China -- sumber impor tunggal terbesar -- saat cadangan devisa negara itu anjlok di tengah pandemi virus Corona (COVID-19).
Pengaruh China di Sri Lanka semakin besar dalam beberapa tahun terakhir, melalui pinjaman dan proyek inisiatif infrastruktur Belt and Road yang luas. Hal ini menambah kekhawatiran negara-negara di kawasan sekitarnya maupun negara-negara Barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bank Sentral Sri Lanka menyatakan bahwa pengaturan pertukaran selama 3 tahun untuk 10 miliar Yuan dengan Bank Rakyat China disepakati 'dengan tujuan memajukan perdagangan bilateral dan investasi langsung untuk pembangunan ekonomi kedua negara'.
Disebutkan pejabat Sri Lanka bahwa perundingan juga sedang berlangsung untuk mengamankan US$ 700 juta dari Bank Pembangunan China.
Perekonomian Sri Langka mulai tumbang setelah tragedi bom Paskah tahun 2019 dan adanya pandemi Corona, yang semakin diperburuk oleh lockdown yang diberlakukan otoritas setempat. Perekonomian negara ini berkontraksi sebesar 3,9 persen tahun lalu, yang mencetak rekor.
Cadangan devisa Sri Lanka jatuh ke angka US$ 4,5 miliar pada Februari lalu, dari tadinya sebesar US$ 8 miliar setahun lalu. Situasi itu terjadi meski Sri Lanka melarang impor barang mewah dan kendaraan serta sejumlah komoditas makanan.
Tonton juga Video "Dewan Muslim Sri Lanka soal Larangan Burkak: Ancam Hak Warga Negara":