Pemerintah Amerika Serikat (AS) mulai memperketat kontrol ekspor ke Myanmar, sebagai sanksi terbaru usai militer negara tersebut melakukan kekerasan mematikan terhadap para demonstran antikudeta.
Seperti dilansir AFP, Jumat (5/3/2021), Myanmar diklasifikasikan ulang ke dalam kelompok yang sama dengan musuh AS, yakni Rusia dan China dalam tingkat pengawasan untuk teknologi atau bahan sensitif apa pun, dengan pembatasan pada ekspor apa pun yang dapat digunakan untuk keperluan militer.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan pemerintah AS mengambil langkah-langkah terbaru "dalam menanggapi kekerasan yang mengejutkan dan mematikan terhadap para pengunjuk rasa di Burma (Myanmar)."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami menyerukan pemulihan demokrasi di Burma," tulisnya di Twitter, menggunakan nama lama Myanmar.
Departemen Perdagangan AS mengatakan sedang mempertimbangkan tindakan lebih lanjut "dalam merespons kudeta militer dan peningkatan kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai."
Peraturan baru itu akan mempengaruhi ekspor ke Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri Myanmar serta dua perusahaan milik negara, Myanmar Economic Corporation dan Myanmar Economic Holding Limited.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price menunjukkan kemarahannya setelah lebih banyak pengunjuk rasa ditembak mati oleh junta militer.
"Peningkatan kekerasan terakhir ini menunjukkan fakta bahwa junta sama sekali tidak menghargai rakyat mereka sendiri. Ini tidak dapat diterima," kata Price.
"Amerika Serikat akan terus merespons bersama-sama dengan mitra dan sekutu kami di seluruh dunia," tegasnya.
Price menambahkan bahwa AS juga "sangat prihatin" akan penangkapan para jurnalis dan menyerukan pembebasan mereka secepatnya.
(izt/ita)