Pengadilan Tinggi Malaysia memerintahkan penghentian sementara rencana deportasi 1.200 warga Myanmar ke Tanah Air mereka. Hal itu dilakukan menyusul banyaknya kritikan dari berbagai pihak terhadap tindakan pemerintah Malaysia.
Seperti dilansir AFP, Selasa (23/2/2021), para imigran, termasuk anggota minoritas yang rentan, telah dibawa dengan bus dan truk ke pangkalan militer di pantai barat Malaysia. Mereka rencananya akan dipulangkan kapal milik Angkatan Laut Myanmar.
Namun dalam putusan terbaru, Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur memerintahkan penghentian repatriasi untuk memungkinkan digelarnya sidang pada Rabu (24/2) besok, terkait gugatan menuntut penghentian deportasi. Pengacara yang menangani masalah deportasi, New Sin Yew, mengatakan pihaknya akan berupaya untuk menghentikan deportasi itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur eksekutif Amnesty International Malaysia, Katrina Jorene Maliamauv, mengatakan "pemerintah harus menghormati perintah pengadilan dan memastikan bahwa tidak satu pun dari 1.200 orang yang dideportasi hari ini".
Dia meminta pihak berwenang untuk mengizinkan Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakses warga negara Myanmar yang ditahan. Izin tersebut akan memudahkan PBB untuk menilai jika ada pencari suaka yang akan dideportasi.
"Penting untuk dicatat bahwa penundaan eksekusi yang diberikan oleh pengadilan tidak berarti 1.200 orang ini aman dari dideportasi. Mereka menghadapi risiko yang mengancam jiwa," tambahnya.
"Kami mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rencananya untuk mengirim kelompok rentan ini kembali ke Myanmar."
Diketahui bahwa Amerika Serikat dan PBB telah mengkritik rencana deportasi itu, sementara kelompok hak asasi mengatakan ada pencari suaka di antara mereka yang akan dipulangkan.
Kelompok HAM Amnesty International dan Asylum Access telah mengajukan gugatan ke pengadilan setempat, dengan alasan Malaysia akan melanggar tugas internasionalnya dengan mengirim orang-orang yang rentan kembali ke negara di mana mereka bisa dalam bahaya.
Sebelumnya, puluhan bus dan truk yang membawa 1.200 warga Myanmar dan dikawal mobil polisi tiba di pangkalan AL di Lumut, Malaysia.
Malaysia awalnya menyatakan "keprihatinan serius" atas kudeta tersebut, tetapi hanya beberapa hari kemudian, muncul berita bahwa pihaknya telah menerima tawaran dari junta Myanmar yang mengirim kapal perang guna memulangkan 1.200 warganya.
Para pejabat Malaysia mengatakan mereka yang dipulangkan telah melakukan pelanggaran termasuk memperpanjang visa mereka. Malaysia menegaskan tidak ada warga etnis minoritas.
Menurut Direktur Internasional Yayasan Geutanyoe yang bekerja dengan badan pengungsi, Lilianne Fan, di antara mereka yang akan dideportasi adalah para anggota minoritas Chin Kristen dan warga dari negara bagian Kachin dan Shan yang dilanda konflik.
Badan pengungsi PBB sebelumnya menyatakan pihaknya sedang mencari informasi dari otoritas setempat soal deportasi itu. Namun salah satu juru bicara mereka menyebut bahwa sejak akhir tahun 2019, pihaknya diblokir untuk mengakses pusat tahanan imigrasi, yang berarti mereka tidak bisa menentukan siapa saja yang harus diberi status pengungsi.
Ketua Aliansi Pengungsi Chin yang berbasis di Malaysia, James Bawi Thang Bik, mengatakan dia "terkejut" mengetahui Chin termasuk di antara mereka yang akan dideportasi.
"Mereka pengungsi yang berasal dari daerah konflik," katanya kepada AFP.