Otoritas Malaysia mempertahankan rencana untuk mendeportasi 1.200 warga Myanmar dengan kapal Angkatan Laut yang dikirim dari negara asal mereka sepekan setelah kudeta militer. Penegasan soal deportasi ini disampaikan Malaysia setelah menuai kritikan dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Seperti dilansir AFP, Senin (15/2/2021), kabar yang beredar pekan lalu menyebut para imigran itu akan dipulangkan, setelah militer Myanmar mengambil alih kekuasaan dan menahan pemimpin de-facto Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu.
Kepala Imigrasi Malaysia, Khairul Dzaimee Daud, menyebut warga Myanmar -- yang disebutnya sebagai tahanan -- akan dideportasi pada 23 Februari mendatang. Menurut Khairul, mereka dituduh melakukan berbagai pelanggaran hukum termasuk tidak memiliki dokumen perjalanan yang sah dan overstay visa mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu merupakan bagian dari program biasa kami untuk mendeportasi imigran ilegal yang ditahan di pusat penahanan," sebut Khairul dalam pernyataannya.
Dia menambahkan bahwa Malaysia memulangkan lebih 37.000 warga negara asing (WNA) tahun lalu.
Disebutkan juga oleh Khairul bahwa tidak ada pengungsi terdaftar di PBB atau warga minoritas muslim Rohingya dalam kelompok warga Myanmar yang akan dideportasi itu.
Rohingya, yang tidak diakui sebagai warga negara Myanmar, telah sejak lama mengalami persekusi di wilayah asal mereka dan ratusan ribu orang melarikan diri ke Bangladesh saat militer melakukan operasi tahun 2017 lalu.
Saksikan juga 'Pengunjuk Rasa di Myanmar Minta Bantuan Dunia Internasional':
Malaysia kini menjadi rumah bagi sekitar 100 ribu pengungsi Rohingya yang terdaftar, serta anggota komunitas lainnya seperti Chin dan Kachin.
Badan pengungsi PBB sebelumnya menyatakan pihaknya sedang mencari informasi dari otoritas setempat soal deportasi itu. Namun salah satu juru bicara mereka menyebut bahwa sejak akhir tahun 2019, pihaknya diblokir untuk mengakses pusat tahanan imigrasi, yang berarti mereka tidak bisa menentukan siapa saja yang harus diberi status pengungsi.
Menurut juru bicara itu, orang-orang rentan termasuk wanita dan anak-anak termasuk dalam kelompok yang ditahan di pusat tahanan itu.
"Jika dinyatakan memerlukan perlindungan internasional, maka orang-orang ini tidak seharusnya dideportasi ke situasi di mana kehidupan atau kebebasan mereka mungkin terancam," cetusnya.