Partai Liga Demokrasi Nasional (NLD) Myanmar menuntut pembebasan pemimpinnya, Aung San Suu Kyi segera, setelah kudeta militer memicu kecaman internasional dan ancaman sanksi dari presiden baru Amerika Serikat.
Dilansir dari AFP, Selasa (2/2/2021) pasukan bersenjata berpatroli di ibu kota, Naypyidaw, tempat Aung San Suu Kyi dan pemimpin-pemimpin partai NLD lainnya ditahan dalam penggerebekan pada Senin (1/2) dini hari waktu setempat.
Tentara juga ditempatkan di luar gedung anggota parlemen di Naypyidaw pada hari Selasa (2/2). Seorang anggota parlemen NLD menggambarkan kondisi itu seperti pusat penahanan terbuka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami tidak diizinkan keluar," katanya kepada AFP melalui telepon, meminta namanya tidak disebutkan karena takut akan militer. "Kami sangat khawatir," imbuhnya.
Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint saat ini masih dalam tahanan rumah, kata anggota parlemen itu kepada AFP, meskipun tidak jelas di mana mereka ditahan.
Terlepas dari intimidasi tersebut, NLD menyerukan pembebasan Aung San Suu Kyi dan semua anggota partai yang ditahan.
"Kami melihat ini sebagai noda sejarah negara," tambahnya.
Dia juga menuntut militer untuk mengakui hasil pemilihan umum 2020 lalu yang dimenangkan dengan mudah oleh NLD.
Sebelumnya, militer Myanmar mengatakan bahwa pengambilalihan kekuasaan dilakukan akibat tuduhan terjadinya kecurangan pemilu yang dimenangkan partai NLD. Militer akan memegang kekuasaan darurat selama 12 bulan ke depan dan mengklaim akan mengadakan pemilihan umum baru.
Kecaman
Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyuarakan kecamannya atas kudeta yang dilakukan Militer Myanmar. Pihaknya meminta pemulihan demokrasi dengan cepat dan memperingatkan akan memberlakukan kembali sanksi bagi negara itu.
"Komunitas internasional harus bersatu dalam satu suara untuk menekan militer Burma agar segera melepaskan kekuasaan yang telah mereka rebut," kata Biden.
"Amerika Serikat memperhatikan orang-orang yang mendukung rakyat Burma di saat yang sulit ini," ujarnya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Uni Eropa dan Australia juga mengutuk kudeta tersebut. Inggris bahkan memanggil Dubes Myanmar untuk menyampaikan protes resmi.
Cengkeraman Militer
Pemungutan suara bulan November 2020 lalu di Myanmar menjadi pemilu demokratis kedua sejak keluar dari cengkeraman kekuasaan militer selama 49 tahun pada tahun 2011.
NLD memenangkan lebih dari 80 persen suara dalam pemilu itu. Namun militer mengklaim telah menemukan lebih dari 10 juta kasus kecurangan pemilih.
Derek Mitchell, duta besar AS pertama untuk Myanmar mengatakan masyarakat internasional perlu menghormati kemenangan Aung San Suu Kyi pada pemilu November lalu.
"Barat mungkin menganggapnya sebagai ikon global demokrasi. Tetapi jika Anda peduli dengan demokrasi di dunia, maka Anda harus menghormati pilihan demokrasi. Ini bukan tentang orangnya, ini tentang prosesnya," tandasnya.