Peran Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia kembali menjadi perhatian Eropa. Islam wasatiah (Islam jalan tengah) yang menjadi karakter muslim di Indonesia dianggap bisa menjadi model untuk pengembangan Islam di Jerman dan Eropa.
Seperti dalam pernyataan KBRI Berlin di Jerman yang diterima detikcom, Rabu (9/12/2020) hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Politik Luar Negeri Bidang Keagamaan, Kementerian Luar Negeri Jerman, Dubes Volker Berresheim pada seminar yang berlangsung di Frankfurt.
"Kita patut belajar dari Indonesia, bagaimana agama Islam dikembangkan dan diajarkan di berbagai jenjang pendidikan, baik formal maupun informal. Peran organisasi-organisasi Islam di Indonesia secara umum juga telah berhasil mengembangkan Islam yang toleran dan moderat di tengah-tengah masyarakat yang sangat plural dan kompleks," katanya, Senin (7/12).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, praktik yang telah berkembang di Indonesia selama ini bisa menjadi referensi model dalam penyusunan kurikulum pelatihan para Imam untuk di Eropa. Tak terkecuali untuk Jerman.
Pembahasan mengenai pelatihan para Imam tersebut menjadi topik utama dalam seminar yang digelar oleh Akademie fΓΌr Islam in Wissenschaft und Gesellschaft (AIWG), salah satu akademi Islam di Goethe-Unifersity Frankfurt, Jerman.
Seminar yang berlangsung secara virtual tersebut bertajuk 'Building bridges between State and Muslim communities: Domestic training of Muslim religious professionals in Europe and North America as a common issue'.
Seminar tersebut menghadirkan pembicara dari kelompok akademisi beberapa universitas di Eropa, antara lain Perancis, Denmark dan Belanda.
Selain itu juga hadir tokoh beberapa institusi yang menyelenggarakan pelatihan bagi para Imam di Eropa, di antaranya Schura yang berlokasi di Hamburg, Jerman, dan Al Ghazali Institute di Perancis. Satu-satunya pembicara di luar Eropa adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra, dari Indonesia, yang secara khusus diminta Kemlu Jerman untuk memberikan masukan dalam program pelatihan bagi para Imam di Eropa.
Baca juga: Azyumardi Siap Jadi Menteri |
Tantangan terbesar bagi para Imam di Eropa adalah bagaimana fungsi dan keberadaan mereka dapat diterima oleh komunitas agamanya (kelompok muslim), komunitas masyarakat, dan diterima pula oleh otoritas/pemerintah setempat.
Merespons hal itu, Prof Azra menekankan pentingnya mendorong integrasi komunitas muslim yang lebih solid ke dalam masyarakat Eropa, Integrasi tersebut membutuhkan adanya dialog yang lebih intensif.
"Keberagaman itu terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Keberagaman antar agama dan keberagaman dalam satu agama. Kita tidak hanya bicara keberagaman yang bersifat sektarian saja, seperti sunni dan syiah, tapi bahkan dalam sektarian yang sama pun ditemukan berbagai keragaman dalam menjalankan agama," jelas Prof Azra.
"Dalam semua lini keberagaman tersebut dibutuhkan adanya dialog yang kondusif, baik intrafaith dialog maupun interfaith dialog," tambahnya.
Prof Azra juga menjelaskan bahwa untuk mendorong integrasi ke dalam masyarakat Eropa, komunitas muslim di Eropa perlu memperkuat tingkat ekonomi mereka. Hal itu diyakini akan meningkatkan akseptabilitas mereka di masyarakat.
Dalam kesempatan itu, Prof Azra juga menceritakan pengalamannya dalam menyusun kurikulum Studi Islam di Leuven University, salah satu Universitas Katolik di Belgia. Dia sebutkan bahwa kontribusinya tersebut diinisiasi oleh Dubes Arif Havas Oegroseno yang kini menjabat sebagai Dubes RI untuk Jerman dan juga hadir pada seminar AIWG ini. Saat itu, Dubes Havas bertugas sebagai Dubes RI untuk Belgia dan Uni Eropa.