Majelis rendah parlemen Prancis menyetujui undang-undang yang melarang diskriminasi berdasarkan aksen seseorang. Praktik itu dilarang karena dianggap sebagai "bentuk rasisme".
Dilansir AFP, Jumat (27/11/2020), aturan tersebut, menambahkan aksen pada daftar penyebab diskriminasi yang dapat ditindaklanjuti, bersama dengan rasisme, seksisme dan diskriminasi terhadap penyandang cacat.
Hukuman maksimum yang diusulkan dalam undang-undang baru adalah tiga tahun penjara dan denda sebesar 45.000 euro.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Undang-undang tersebut, yang diusulkan oleh deputi kanan-tengah Christophe Euzet, menjadi subjek debat panas di parlemen.
"Pada saat minoritas 'yang terlihat' mendapat manfaat dari perhatian yang sah dari otoritas publik, minoritas 'yang dapat didengar' adalah orang-orang utama yang dilupakan dari kontrak sosial berdasarkan kesetaraan," kata Euzet.
Maina Sage, deputi untuk Polinesia Prancis, berbicara tentang kesulitan yang dapat dihadapi oleh orang-orang, seperti dia, berbicara dengan aksen dari luar daratan Prancis.
Patricia Miralles, putri orang Afrika Utara, berbicara tentang "ejekan" yang dia temui di masa mudanya karena aksen Aljazairnya, yang dia tirukan sebentar di ruang parlemen.
Anggota parlemen lainnya mengecam fakta bahwa terlalu banyak penyiar dengan aksen yang kuat membuat liputan tentang rugby atau membaca buletin cuaca.
Di sisi lain, Jean Lassalle, dari partai oposisi Libertes et Territoires yang mencakup nasionalis Korsika, memberikan suara menentang aturan tersebut.
Menteri Kehakiman Eric Dupond-Moretti, mantan pengacara, mengatakan dia "sangat yakin" tentang perlunya undang-undang baru itu.
Bulan lalu Jean-Luc Melenchon, pemimpin gerakan sayap kiri France Insoumise (France Unbowed), terekam kamera sedang bersikap kasar kepada seorang jurnalis dengan aksen selatan yang mengajukan pertanyaan kepadanya di Majelis Nasional.
(rdp/ita)