Pemerintah Sudan membayarkan kompensasi sebesar US$ 335 juta (Rp 4,9 triliun) kepada keluarga korban serangan militan yang berasal dari Amerika Serikat (AS). Pembayaran kompensasi ini merupakan bagian dari kesepakatan dengan otoritas AS agar Sudan dihapus dari daftar sponsor terorisme.
Seperti dilansir Reuters dan Associated Press, Kamis (22/10/2020), otoritas Sudan sepakat membayar kompensasi sebesar US$ 335 juta bagi korban pengeboman Kedutaan Besar AS di Kenya dan Tanzania tahun 1998. Serangan bom itu dilakukan jaringan Al-Qaeda saat mendiang Osama bin Laden tinggal di Sudan.
Pembayaran kompensasi itu menjadi bagian dari kesepakatan dengan AS untuk menghapus Sudan dari daftar negara sponsor terorisme. Masuknya Sudan ke dalam daftar tersebut telah memberikan hambatan bagi negara Afrika tersebut untuk mencari keringanan utang dan pinjaman luar negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gubernur Bank Sentral Sudan, Mohammed al-Fatih Zainelabidine, menuturkan dalam konferensi pers bahwa otoritas Sudah sudah mentransfer jumlah dana yang diminta sebagai kompensasi tersebut.
Dicoretnya Sudan dari daftar negara sponsor terorisme akan membuka jalan bagi reintegrasi negara ini ke dalam perekonomian global setelah terisolasi nyaris selama tiga dekade terakhir. Akibat sanksi AS yang dijatuhkan sejak tahun 1990-an, Sudan terputus dari perbankan internasional.
Pada Senin (19/10) waktu setempat, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa Sudan akan dicoret dari daftar negara sponsor terorisme jika memenuhi janji untuk membayar kompensasi sebesar US$ 335 juta kepada warga AS dan keluarganya yang menjadi korban serangan teror.
"Kabar BAGUS! Pemerintah baru Sudan, yang membuat kemajuan besar, setuju untuk membayar US$ 355 JUTA kepada para korban teror AS dan keluarganya. Begitu deposit masuk, saya akan mencabut Sudan dari daftar Negara Sponsor Terorisme. Akhirnya, KEADILAN untuk rakyat Amerika dan langkah BESAR untuk Sudan!" ucap Trump saat itu via akun Twitternya.
Perdana Menteri (PM) Sudan, Abdalla Hamdok, menyambut baik langkah AS tersebut. Disebutkan Hamdok bahwa keluar dari daftar sponsor terorisme akan membantu pemerintahannya untuk mendapatkan keuntungan dari keringanan utang dan akses pinjaman serta investasi asing, yang dipandang sebagai gerbang menuju pemulihan perekonomian. Disebutkan Hamdok bahwa Sudan kini memiliki utang luar negeri sebesar lebih dari US$ 60 miliar.
"Keputusan ini akan memungkinkan kita untuk mengelola perekonomian dengan lingkungan yang lebih baik dan mekanisme efektif yang baru. Menghapus Sudan dari daftar teroris akan membuka pintu lebar-lebar bagi Sudan untuk secara sah kembali ke komunitas internasional," cetusnya.
"Itu jalan yang panjang. Itu membutuhkan perencanaan serius dan kerja keras untuk mencapai keuntungan maksimum dari peluang ini," imbuh Hamdok.
Sudan berada di jalur rapuh menuju demokrasi setelah unjuk rasa besar-besaran pada tahun lalu, membuat militer menggulingkan pemimpin otoriter Omar al-Bashir pada April 2019. Pemerintahan sipil-militer kini menguasai Sudan, dengan pemilu mungkin digelar pada akhir tahun 2022.
(nvc/ita)