Sekitar 2.500 tentara Myanmar dikerahkan ke wilayah Rakhine beberapa waktu terakhir. Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, akan mengalokasikan 20 miliar Kyat (Rp 224 miliar) untuk membangun tembok perbatasan dengan Bangladesh.
Kelompok HAM independen Myanmar, Burma Human Rights Network (BHRN), yang berkantor di London, Inggris, dalam keterangan persnya seperti dilansir detikcom, Selasa (22/9/2020), menyampaikan kekhawatiran atas dua perkembangan terbaru di Myanmar tersebut.
Perkembangan terbaru ini terjadi saat BHRN menerima sejumlah laporan tentang kematian warga sipil dan warga sipil yang luka-luka, termasuk anak-anak dan wanita, dalam beberapa pekan terakhir. Kebanyakan terkena peluru nyasar dan tembakan artileri saat pertempuran antara militer Myanmar dengan Arakan Army di Rakhine State.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Otoritas Myanmar, menurut BHRN, mengklaim bahwa pengerahan tentara ke Rakhine dan perbatasan dimaksudkan untuk merespons ancaman dari kelompok Arakan Army dan Arakan Rohingya Salvation Army. BHRN menyebut militer Myanmar diketahui secara historis kerap membesar-besarkan ancaman untuk membenarkan ekspansi kekuatan militer dan penganiayaan.
Diketahui juga bahwa area-area yang menjadi lokasi misi aktif militer Myanmar telah diselimuti praktik pendudukan desa, penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan warga sipil. Diketahui juga jatuhnya korban sipil, penggunaan ranjau darat secara luas dan praktik pemerkosaan warga sipil di area-area tersebut.
"Burma (Myanmar-red) tampaknya mengambil langkah-langkah untuk memperluas konflik di Rakhine State tepat pada saat mereka perlu meredakan konflik," ucap Direktur Eksekustif BHRN, Kyaw Win, dalam pernyataannya.
"Di antara meningkatnya jumlah korban jiwa dari kalangan sipil dan penyebaran COVID-19, Burma perlu melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk mengurangi permusuhan di wilayah tersebut dan memenuhi kebutuhan warganya," imbuhnya.
BHRN memperingatkan bahwa menambah pasukan militer di Rakhine justru akan semakin memperluas konflik.
Sama halnya dengan janji kampanye Suu Kyi soal pembangunan tembok perbatasan dengan Bangladesh. BHRN menilai Suu Kyi memprovokasi ketidakpercayaan dan kefanatikan di kalangan warga sipil ketika rekonsiliasi dan ketenangan paling dibutuhkan. Rencana pembangunan tembok perbatasan itu sendiri, sebut BHRN, tidak menjadi persoalan, namun waktu saat Suu Kyi mengumumkan rencana itu yang menjadi masalah.
"Dengan menambah pasukan di wilayah itu, mereka menempatkan lebih banyak warga sipil dalam bahaya, meningkatkan ketegangan dengan Bangladesh, dan mendorong perang sipil ke fase baru dan lebih mematikan," cetus Kyaw Win.
Lebih lanjut, BHRN menyerukan otoritas Myanmar untuk menarik tentara tambahan dari Rakhine. Seluruh pihak di Rakhine juga diminta segera memulai proses gencatan senjata dan perundingan menuju perdamaian abadi. Ditegaskan BHRN bahwa setiap perundingan harus melibatkan seluruh kelompok etnis di Rakhine, termasuk Rohingya, dan harus menekankan hak dan otonomi yang mereka perjuangkan.
"Gencatan senjata di Rakhine State sudah lama tertunda, dan sangat penting bahwa semua pihak ikut berunding," tegas Kyaw Win.
Aspirasi federalisme telah sejak lama ditolak otoritas Myanmar, namun isu ini penting untuk merundingkan perdamaian. Gencatan senjata di Rakhine perlu didukung oleh komunitas internasional, khususnya Bangladesh yang berperan sangat penting sebagai negara tetangga dan negara-negara ASEAN yang bertanggung jawab memajukan rencana perdamaian di Rakhine.
Tidak hanya itu, BHRN juga menyerukan agar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan Dewan Keamanan PBB menangani persoalan ini secara mendesak, terutama karena mereka berupaya menyelesaikan konflik di tengah pandemi virus Corona (COVID-19).