Demonstran anti-pemerintah menuntut agar Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha mundur dari jabatannya. Mereka pun memasang sebuah plakat yang melambangkan transisi negara itu menuju demokrasi dengan pesan "negara milik rakyat".
Dilansir Associated Press (AP), Minggu (20/9/2020) unjuk rasa yang dipimpin mahasiswa yang dimulai Sabtu (19/9) adalah yang terbesar dalam serangkaian protes tahun ini, dengan ribuan orang berkemah semalam di lapangan Sanam Luang dekat istana kerajaan.
Sementara itu, sekelompok aktivis membuat lubang di depan panggung darurat. Kemudian setelah ritual Buddha, meletakkan plakat kuningan bundar di semen untuk memperingati revolusi 1932 yang mengubah Thailand dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat fajar 20 September, di sinilah orang-orang menyatakan bahwa negara ini adalah milik rakyat," bunyi dari bagian dari prasasti di plakat itu. Pada April 2017, plakat asli lenyap dari Royal Plaza Bangkok dan diganti dengan plakat yang memuji monarki.
"Bangsa bukan hanya milik satu orang, tapi milik kita semua. Oleh karena itu, saya ingin meminta roh-roh suci untuk tinggal bersama kami dan memberkati kemenangan rakyat," kata pemimpin mahasiswa Parit" Penguin "Chirawak kepada para demonstran.
Aktivis lainnya, Panusaya Sithijirawattanakul, mengatakan tuntutan mereka tidak mengusulkan penghapusan monarki. "Mereka adalah proposal dengan niat baik untuk membuat institusi monarki tetap anggun di atas rakyat di bawah pemerintahan demokratis."
Penyelenggara memperkirakan sebanyak 50.000 orang akan ambil bagian dalam protes akhir pekan, tetapi wartawan Associated Press memperkirakan sekitar 20.000 orang hadir pada Sabtu malam.
Kerajaan Thailand telah menyaksikan aksi yang sama hampir setiap hari dari kelompok-kelompok yang dipimpin pemuda sejak pertengahan Juli yang menyerukan pengunduran diri PM Prayut, mantan panglima militer di balik kudeta 2014, dan perombakan total pemerintahannya.
Beberapa juga menuntun reformasi monarki Thailand yang sangat kaya dan kuat. Tuntutan ini dulunya dianggap tabu di negara itu karena undang-undang pencemaran nama baik kerjaan yang keras.
Gerakan yang berkembang, sebagian terinspirasi oleh protes pro-demokrasi Hong Kong, sebagian besar tanpa pemimpin.
Namun demikian, demonstrasi yang berlangsung akhir pekan ini diorganisir oleh mahasiswa Universitas Thammasat Bangkok, sebuah kelompok yang paling vokal tentang peran keluarga di kerajaan Thailand.