Parlemen China secara bulat menyatakan dukungan terhadap rencana untuk memberlakukan rancangan undang-undang (RUU) keamanan nasional untuk Hong Kong yang kontroversial. RUU ini disebut oleh para pengkritik, akan menghancurkan otonomi Hong Kong.
Seperti dilansir AFP, Kamis (28/5/2020), lebih dari 2.800 anggota Kongres Rakyat Nasional (NPC) -- sebutan parlemen China -- memberikan voting dukungan untuk RUU yang akan menghukum tindak pemisahan diri, subversi terhadap kekuasaan yang sah, terorisme dan tindakan membahayakan keamanan nasional yang terjadi di Hong Kong.
Pengumuman hasil voting yang digelar pada Kamis (28/5) waktu setempat ini disambut tepuk tangan meriah dari para delegasi anggota NPC. Hanya satu anggota tidak setuju dengan RUU itu, sedangkan enam anggota lainnya memilih abstain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aturan hukum ini akan diberlakukan secara langsung oleh otoritas China daratan, yang secara efektif melangkahi pemerintah Hong Kong. Menurut draf RUU yang dirilis pekan lalu, aturan hukum ini akan mengizinkan badan keamanan China daratan untuk beroperasi secara terbuka di Hong Kong.
Komisi Tetap NPC -- yang kemungkinan akan menggelar rapat lagi pada Juni -- sekarang ditugasi untuk merumuskan legislasi ini. Otoritas China daratan menyatakan bahwa proses ini harus selesai 'secepatnya'.
Upaya pengajuan RUU keamanan nasional Hong Kong ini memicu kecaman dari berbagai negara, juga dari kalangan investor dan pergerakan pro-demokrasi Hong Kong. Para pengkritik menuduh China berupaya mengikis kebebasan yang dijanjikan di bawah kesepakatan penyerahan dengan Inggris tahun 1997.
Pada Rabu (27/5) waktu setempat, Amerika Serikat (AS) mencabut status spesial Hong Kong, dengan alasan kota itu tidak lagi menjadi otonomi dari China. Pencabutan status spesial ini membuka jalan untuk penjatuhan sanksi dan penghapusan keistimewaan dagang yang dimilik Hong Kong di masa mendatang.
Pekan lalu Wakil Ketua Komisi Tetap NPC, Wang Chen, menyebut bahwa penundaan penerapan undang-undang (UU) keamanan milik Hong Kong sendiri telah memaksa pemimpin China mengambil tindakan. Diketahui bahwa China mendorong pengajuan RUU keamanan Hong Kong setelah unjuk rasa pro-demokrasi secara besar-besaran digelar selama tujuh bulan, tahun 2019 lalu.
China selama ini menolak untuk menanggapi tuntutan para demonstran Hong Kong, yang kerap dilabeli sebagai 'pasukan kekacauan anti-China' yang dituduh secara diam-diam mendapat dukungan negara Barat. Otoritas China kerap menggunakan aturan hukum keamanan nasional untuk menahan aktivis, jurnalis dan pengacara dengan dalih 'upaya penggulingan negara', dengan beberapa kasus berlangsung bertahun-tahun tanpa persidangan maupun akses ke pengacara.
Sejumlah detail penting soal UU keamanan nasional Hong Kong ini belum diklarifikasi, termasuk bagaimana UU itu akan mendefiniskan tindak kejahatan maupun 'campur tangan asing', juga apakah pelanggarnya akan diadili di Hong Kong atau China, serta apakah UU ini bisa berlaku surut.