Thunberg yang berusia 16 tahun baru saja dinobatkan sebagai TIME Person of the Year tahun 2019 karena kiprahnya dalam menyerukan perlawanan terhadap perubahan iklim. Di usia yang masih belia, Thunberg telah banyak bepergian dan menghadiri berbagai konferensi untuk mengingatkan para pemimpin dunia dan para pembuat kebijakan untuk bertindak segera melindungi Bumi dari perubahan iklim.
Seperti dilansir majalah TIME, Jumat (13/12/2019), gerakan bernama 'Fridays for Future' yang dicetuskan Thunberg telah menginspirasi aksi protes global. Gerakan itu dimulai sejak Agustus 2018, saat Thunberg rela membolos sekolah untuk menggelar unjuk rasa sendirian di luar gedung parlemen Swedia. Aksi ini selalu digelar Thunberg setiap hari Jumat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gerakan 'Fridays for Future' berawal dari reaksi kerasnya saat mempelajari soal krisis iklim yang dijelaskan oleh gurunya di sekolah. Sindrom Asperger yang dialami Thunberg membantu menjelaskan kenapa dia memiliki reaksi sangat besar saat mengetahui soal krisis iklim.
Disebutkan Majalah TIME bahwa Thunberg tidak bisa memproses informasi dalam cara yang sama seperti orang-orang lain dengan neurotypical. Thunberg disebut tidak bisa memilah-milah fakta bahwa planetnya, Bumi, sedang dalam bahaya akibat krisis iklim.
Orangtua Thunberg awalnya tidak sepakat dengan gagasan putri mereka membolos demi demo memprotes pemerintah Swedia soal krisis iklim. Namun Thunberg tak bisa dihalangi. Dia membuat selebaran yang berisi fakta soal angka kepunahan dan anggaran karbon, kemudian menyertakan sedikit humor di dalamnya yang menunjukkan sifat keras kepalanya.
"Nama saya Greta, saya duduk di kelas sembilan, dan saya melakukan aksi mogok sekolah untuk iklim. Karena Anda, warga dewasa tidak peduli soal masa depan saya, saya juga tidak akan peduli," tulisnya pada setiap selebarannya saat itu.
![]() |
Pada hari pertama berdemo, Thunberg hanya sendirian. Dia memposting soal aksi protesnya itu di media sosial dan beberapa wartawan mendatanginya untuk mewawancarainya. Pada hari kedua, ada satu orang asing yang menemaninya. Semakin hari, semakin banyak orang yang bergabung dengan Thunberg.
Puncaknya terjadi pada 20 September lalu, yang jatuh pada hari Jumat, saat sekitar 4 juta orang -- kebanyakan para pelajar -- di seluruh dunia ikut dalam aksi serupa. Setidaknya 2.500 aksi digelar di lebih dari 160 negara di tujuh benua. Aksi itu tercatat sebagai unjuk rasa perubahan iklim terbesar dalam sejarah.
Salah satu aksi digelar di New York, Amerika Serikat (AS), menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kebijakan Iklim. KTT yang dihadiri 60 pemimpin dunia itu menjadi bagian dari untuk memulai kampanye global melawan perubahan iklim.
Laporan kantor berita Jerman, Deutsche Welle (DW), menyebut bahwa dalam aksi protes di New York saat itu diikuti sekitar 250 ribu demonstran yang turun ke jalan-jalan untuk menyerukan tindakan segera dan penghormatan terhadap lingkungan. Aksi itu juga digelar dengan slogan 'Global Climate Strike'.
Thunberg yang saat itu sedang di New York, turut berpidato di salah satu aksi yang digelar di Battery Park. "Orang-orang yang berkuasa, mereka semua mengucapkan kata-kata indah yang sama, janji-janji kosong yang sama, kebohongan yang sama dan kelambanan yang sama," kata Thunberg dalam pidatonya.
"Tidak ada seorang pun yang berkuasa yang berani mengatakannya kebenaran itu, karena mereka tidak peduli, ... bahkan mereka mengalihkan beban dan tanggung jawab kepada kita, kita para remaja, kita anak-anak," tegasnya.
![]() |
Aksi serupa juga digelar di London, Inggris, dengan sekitar 100 ribu orang berkumpul di dekat Westminster Abbey, gedung parlemen Inggris.
Di Jerman, total 1,4 juta orang turun ke jalan untuk menuntut pemerintah pimpinan Kanselir Angela Merkel untuk mengambil tindakan melawan perubahan iklim. Unjuk rasa ini berdampak pada penutupan jalan-jalan protokol dan sempat kekacauan lalu lintas di ibu kota Jerman. Aksi serupa juga digelar di nyaris 600 kota di berbagai wilayah Jerman. Selain diikuti para pelajar, aksi ini juga didukung oleh berbagai kelompok masyarakat, serikat pekerja dan organisasi profesi.
Di Australia, sekitar 300 ribu orang, termasuk para pelajar, turun ke jalanan berbagai kota untuk mengikuti unjuk rasa perubahan iklim. Laporan saat itu menyebut para demonstran perubahan iklim memadati 8 kota besar dan 104 pusat keramaian lainnya. Aksi protes ini bahkan disebut sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah Australia.
Aksi ini begitu kontroversial di Australia. Beberapa guru dituding bias dan membawa politik ke dalam kelas. Pemerintah Australia mengaitkan unjuk rasa ini dengan hasil ujian yang menurun. Lebih dari 2.500 pebisnis Australia juga ikut berpartisipasi. Mereka menutup kantor mereka atau membolehkan karyawan mereka untuk izin kerja. Pusat-pusat kota di Melbourne, Sydney dan Brisbane menjadi lumpuh di saat para pengunjuk rasa memenuhi jalanan.
Tidak ketinggalan, aksi serupa juga sempat digelar di Indonesia, pada 20 September lalu. Saat itu, sekitar 500 orang menggelar aksi di depan Istana Merdeka, Jakarta untuk menuntut pemerintah mengatasi krisis iklim yang dinilai sudah berbahaya bagi masa depan.
Aksi saat itu diawali long march dari Taman Cut Meutia menuju Taman Pandang, Jalan Silang Monas Barat Laut. Peserta aksi datang dengan membawa spanduk dan banner bertuliskan kampanye perlindungan iklim. Beberapa dari mereka juga tampak mengenakan ikat kepala bertulisan 'Ayo Beraksi Untuk Ibu Pertiwi'.
Laporan majalah TIME menyebut bahwa aksi serupa juga digelar di Antartika, Afghanistan, Afrika Selatan hingga Papua Nugini.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini