Koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS), yang juga memiliki operasi melawan ISIS di Suriah, mengaku belum bisa mengkonfirmasi kematian Baghdadi dalam serangan Rusia itu. Rusia dalam pernyataannya mengaku telah memberitahu AS terlebih dahulu soal serangan terhadap target ISIS di Raqqa.
"Kami belum bisa mengkonfirmasi laporan-laporan ini, pada saat ini," ucap juru bicara koalisi pimpin AS yang bernama 'Operation Inherent Resolve' (Operasi Penyelesaian Inheren) di Suriah dan Irak, Kolonel Militer Ryan S Dillon, seperti dilansir AFP, Jumat (16/6/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Militer Rusia menyatakan, sejumlah pesawat tempur Sukhoi melancarkan serangan udara selama 10 menit saat malam hari pada 28 Mei lalu, di sebuah lokasi dekat Raqqa, Suriah. Serangan udara itu secara khusus ditargetkan pada sebuah pertemuan pemimpin senior ISIS, yang diyakini juga dihadiri Baghdadi. Wilayah Raqqa sendiri dianggap sebagai ibu kota kekhalifahan ISIS di Suriah. Wilayah itu juga menjadi markas kuat ISIS hingga kini.
Rusia mengklaim serangan udara itu menewaskan 30 komandan lapangan dan 300 militan ISIS. Militer Rusia saat ini masih berusaha mengkonfirmasi apakah Baghdadi termasuk salah satu petinggi ISIS yang tewas dalam serangan itu.
"Menurut informasi yang sedang diperiksa melalui berbagai saluran, pemimpin ISIL (nama lain ISIS) Ibrahim Abu Bakr al-Baghdadi juga hadir dalam pertemuan itu dan dimusnahkan oleh serangan itu," demikian pernyataan militer Rusia.
Baca juga: Tentara AS Tewaskan Tokoh Penting ISIS |
Dalam pernyataan terpisah, Direktur Syrian Observatory for Human Rights, Rami Abdulrahman, seperti dilansir Reuters, meragukan klaim Rusia itu. Abdulrahman menuturkan, berdasarkan informasi yang didapatnya, Baghdadi berada di bagian lain wilayah Suriah pada akhir Mei.
"Informasinya adalah, sejak akhir bulan lalu, Baghdadi berada di Deir al-Zor, area antara Deir al-Zor dan Irak, di wilayah Suriah," sebut Abdulrahman.
Lebih lanjut, Abdulrahman mempertanyakan apa keperluan Baghdadi berada di Raqqa saat Rusia melancarkan serangan. "Apakah cukup beralasan bahwa Baghdadi akan menempatkan dirinya di antara dua pilihan berbahaya antara koalisi pimpinan AS dan Rusia?" tanya Abdulrahman.
(nvc/dnu)