Arthur Lascanas, pensiunan polisi tersebut juga mengaku sebagai bagian dari kelompok pembunuh tersebut.
Sembari menangis, Lascanas menceritakan serangkaian pembunuhan di kota Davao atas perintah Duterte untuk menghabisi para pengkritiknya ataupun memerangi kejahatan. Bahkan dikatakan Lascanas, dirinya telah membunuh dua saudara laki-lakinya yang terlibat dalam perdagangan narkoba, dikarenakan "loyalitas butanya" kepada Duterte serta adanya imbalan uang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dijelaskan Lascanas, dirinya dan beberapa polisi pernah menculik seorang tersangka penculik, namun mereka juga membawa pergi istrinya yang sedang hamil tujuh bulan, putranya yang berumur empat atau lima tahun, menantunya dan dua pembantu rumah tangga.
"Wali Kota Rody Duterte memberikan kami sinyal: "silakan, habisi mereka semua," ujar Lascanas. "Dalam kasus ini, iblis menang. Mereka membunuh seluruh keluarga itu di depan saya, dengan menggunakan kaliber .22 dengan peredam suara," imbuh Lascanas.
Lascanas juga menyebutkan, dirinya dan para polisi lain pernah mendapat dibayar tiga juta peso (US$ 60 ribu) atas pembunuhan seorang penyiar radio terkenal, Jun Pala yang kerap mengkritik Duterte, pada tahun 2003 silam.
Namun juru bicara kepresidenan, Martin Anadanar membantah semua klaim Lascanas.
"Konferensi pers oleh Arthur Lascanas yang mengaku sebagai pembunuh bayaran itu, merupakan drama politik berlarut-larut yang dimaksudkan untuk menghancurkan presiden dan menggulingkan pemerintahannya," katanya.
Duterte selama ini kerap dituding menjalankan skuad kematian selama dirinya menjadi Wali Kota Davao selama lebih dari dua dekade. Duterte telah membantah tudingan tersebut, namun pada beberapa kesempatan, dia juga membenarkan adanya skuad kematian di Davao. (ita/ita)











































