AS juga harus mengamankan kesepakatan damai untuk mengakhiri perang di Semenanjung Korea. Demikian disampaikan Duta Besar Korut untuk PBB di Jenewa, So Se Pyong, dalam wawancara dengan Reuters, Jumat (18/11/2016).
Namun untuk sekarang, lanjut So Se Pyong, Korut akan fokus menjalankan kebijakannya mewujudkan 'pembangunan serentak' untuk program nuklir dan perekonomian. "Itu akan terus berlanjut," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua negara yang tidak punya hubungan diplomatik, tidak pernah berdialog secara resmi sejak Kim Jong Un menjabat tahun 2011. Pertemuan dipimpin oleh perunding Korut, Choe Son Hui, yang memimpin tim empat orang.
Korut sendiri berulang kali melakukan serangkaian uji coba rudal dan nuklir, terang-terangan melanggar resolusi dan sanksi Dewan Keamanan PBB. Dalam wawancara dengan Reuters pada Mei lalu, Trump mengaku bersedia berbicara dengan pemimpin Korut Kim Jong Un demi menghentikan program nuklir Negara Komunis itu. Sikap Trump itu, jika benar diwujudkan, akan menandai pergeseran besar dalam kebijakan AS terhadap Korut.
Ketika ditanya bagaimana pandangan Korut soal digelarnya kembali dialog antara kedua negara, menindaklanjuti pernyataan Trump itu, So Se Pyong menjawab: "Pertemuan itu tergantung pada keputusan Pemimpin Tertinggi saya." Pemimpin tertinggi Korut merujuk pada Kim Jong Un.
"Jika dia (Trump) sungguh-sungguh menghentikan kebijakan keji terhadap DPRK, menarik seluruh perlengkapan militer dari Korea Selatan, termasuk tentara AS dan mengakhiri dengan kesepakatan damai, maka saya pikir mungkin akan ada kesempatan untuk membahas hubungan kedua negara seperti yang pernah dilakukan pada tahun 1990-an," terang So Se Pyong.
Saat ini, ada sekitar 28.500 tentara AS yang ditempatkan di wilayah Korsel untuk membantu negara sekutu AS itu melawan persenjataan nuklir Korut. Sejak Perang Korea tahun 1950-1953, Korut secara teknis masih dalam kondisi perang dengan Korsel.
(nvc/ita)