Ambillah contoh taksi reguler yang cukup punya nama, Blue Bird. Pada awal kemunculannya dulu, Blue Bird juga mengoperasikan armada gelap.
Hal ini dikatakan petinggi Blue Bird, Bayu Priawan Djokosoetono. Bayu merupakan cucu dari sang sang pendiri, Mutiara Djokosoetono saat diwawancara detikFinance pada Jumat, 18 Juli 2014 lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Blue Bird saat itu juga menggunakan 'senjata' teknologi untuk penetrasi pasar. "Kami adalah perusahaan taksi pertama yang menggunakan argometer," jelas Bayu.
Dalam perjalanannya, diakui Bayu, memang tidak mudah untuk bisa mendapatkan izin taksi sehingga founder Blue Bird meminta pemerintah sampai pada akhirnya mendapatkan izin taksi.
"Tahun 1972 kami menjalankan 25 unit. Dalam pertumbuhannya dalam sisi jumlah memang kita tidak terlalu pesat pada saat itu karena kita fokus pada pelayanan. Hanya ada satu hal yang menjadi motto Blue Bird saat itu, kita harus menjadi perusahaan yang inovatif dan harus menjadi market leader," jelas dia.
(Baca juga: Bos Blue Bird: Kami Berawal dari Bemo dan Taksi Gelap)
Bayu saat itu mengatakan, pihaknya terus melakukan terobosan yang menjadi pionir transportasi taksi, dengan menggunakan sistem radio yang pertama lalu menggunakan sistem reservasi yang pertama, kemudian pengunaan GPS pertama kali.
"Dan sistem canggih dan sampai sekarang kita adalah perusahaan yang pertama kali menggunakan sistem reservasi berbasis Android dan gadget. Ini terobosan yang kita lakukan untuk memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat," ujar Bayu kala itu.
Dia menambahkan, awalnya Blue Bird menggunakan dan mengadopsi teknologi dari beberapa negara maju. Dalam pertumbuhannya, pertumbuhan teknologi industri transportasi yang paling bagus ada di Indonesia.
"Di luar negeri itu saat ini ada stagnasi teknologi. Makanya sekarang mengubah dari sistem bahan bakarnya, tetapi dari sisi reservasi terjadi stagnasi teknologi. Kami mengapa bilang begitu, kami perusahaan taksi yang ada di dunia yang menggunakan sistem reservasi berdasarkan basis aplikasi Baru setelah itu diikuti yang lain," jelas Bayu.
"Kiblatnya justru telah berubah kalau dulu kita melihat pada asing, justru saat ini asing yang melihat ke kita dan berinovasi sendiri. Kita sudah ada tim R&D sendiri yang bertugas melakukan research dan penelitian berbasis IT yang melihat apa yang bisa kita lakukan pada customer dan kita," imbuh dia.
Namun, benarkah ada stagnasi teknologi seperti yang dikatakan Bayu? Masa berlalu, teknologi informasi juga bertumbuh. Sangat bertumbuh dengan tak terduga. Melesat cepat bak roket luar angkasa yang melawan tarikan gravitasi. Perusahaan start up berbasis teknologi muncul bak cendawan di musim hujan.
Siapa nyana di sudut-sudut dunia ada nama seperti Travis Kalanick dan Garret Camp, yang tahun 2008 lalu di malam bersalju kota Paris, kesulitan mendapat taksi saat menghadiri konferensi. Tercetus ide di kepala mereka untuk menyelesaikan masalah semacam itu dengan aplikasi baru yang revolusioner. Intinya sederhana saja, akses aplikasi itu dan dapatkan mobil sewaan.
(Baca juga: Kisah Kelahiran Uber, Aplikasi Pengguncang Industri Taksi)
Layanan UberCab pun lahir di San Francisco pada tahun 2010 dengan dana terbatas dan sedikit karyawan. Kemudahan yang ditawarkan aplikasi ini, di mana pengguna tinggal memanggil taksi dan membayar dengan kartu kredit, membuatnya mulai dilirik.
Seorang anak muda asal Malaysia, Anthony Tan bahkan sudah memiliki ide Grab yang muncul di kepalanya saat dia berkuliah di Harvard Business School. sewaktu kuliah itu ada temannya yang mengeluhkan sulitnya memesan taksi sewaktu dia berkunjung ke Malaysia. "Apa yang salah dengan sistem taksi di negerimu?" tanya temannya itu.
(Baca juga: Mengenal Anthony Tan, Pria Tajir Malaysia Pencipta Grab)
Begitulah, tercetus ide di kepala Tan untuk membuat layanan pemesanan taksi berbasis aplikasi bernama GrabTaxi. Awalnya, namanya adalah MyTeksi, kemudian berubah nama jadi GrabTaxi pada tahun 2012. Kemudian diubah lagi baru baru ini hanya menjadi Grab.
Bahkan anak muda Indonesia, Nadiem Makarim, membuat aplikasi teknologi yang bisa menjadi perantara antara ojek dan penumpang, Go-Jek. Permulaan Nadiem mendirikan Go-Jek, karena saat itu dirinya suka nongkrong dengan Sopir ojek. Dari hasil suka nongkrong, dia mengetahui bahwa dari seharian, mayoritas waktu Sopir ojek dihabiskan untuk menunggu penumpang sehingga tidak produktif.
(Baca juga: Nadiem Makarim, Pendiri Go-Jek yang Sudah Bantu 10 Ribu Sopir Ojek)
Maka pada tahun 2010, dia menciptakan aplikasi mobile, yang bertujuan membantu Sopir ojek itu. Sopir ojek dibantu mendapatkan penumpang, warga yang membutuhkan Sopir ojek pun bisa mendapatkan kebutuhannya.
"Saya yakin ini berhasil karena apa, karena kebutuhannya pasti tinggi. Sebenarnya sudah banyak ide seperti Go-Jek, cuma kami kuatnya di eksekusi yang agresif," jelas pria yang enggan mengungkapkan nilai transaksi Go-Jek ini.
Kini, aplikasi teknologi yang menjadi perantara antara pemilik mobil dan sepeda motor dengan penumpang dinilai 'mengobrak-abrik' industri taksi. Di tengah carut marutnya transportasi umum di Indonesia, utamanya di Jabodetabek, Uber, GrabCar dan Go-Jek tentu menjadi angin segar. Dengan cepat ketiga aplikasi itu digandrungi kelas menengah perkotaan.
Dampaknya, sopir-sopir taksi mengeluhkan pendapatan mereka turun drastis. Dulu bisa membawa uang Rp150 ribu sehari, namun kini bisa pulang dengan tangan hampa. Mereka kemarin demo bahkan anarkis. Mereka meminta bahwa regulasi yang dikenakan pada industri taksi, seperti pajak, uji KIR, pelat kuning, penyediaan pool diberlakukan pula pada armada aplikasi itu.
Maka benarlah kata Wapres Jusuf Kalla, teknologi tak bisa dicegah. Siklus hidup, termasuk bisnis, berputar.
"Dulu Blue Bird itu waktu muncul juga di demo di mana-mana, di Makassar dan di kota-kota lain, sekarang gantian Blue Bird jadi pendemo saingannya yang baru, teknologi itu tidak bisa dicegah," tutur Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), saat membuka 'Rapat Kerja Arahan Presiden dan Wakil Presiden kepada Menteri dan Kepala Lembaga dan Pejabat Eselon I Kementerian dan Lembaga' di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU Pera) di Jalan Pattimura, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (22/3/2016).
(Baca juga: JK: Dulu Blue Bird Didemo Sekarang Jadi Pendemo, Teknologi Tak Bisa Dicegah)
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai regulator meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk menutup aplikasi. Kemenkominfo bergeming. Menhub Ignasius Jonan akhirnya meminta Organisasi Angkutan Darat (Organda), Uber dan GrabCar duduk bersama.
"Saya harap Organda bisa mewadahi. Grab dan Uber harus dipanggil, kesepakatannya seperti apa? Model bisnisnya seperti apa supaya tidak berbenturan dengan kepentingan transportasi yang lain," demikian saran Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.
Jonan mengakui bahwa sistem transportasi online adalah hasil kemajuan teknologi yang tak bisa dihalangi.
(Baca juga: Menhub Jonan Harap Organda Bisa Mewadahi Uber dan GrabCar)
"Hanya yang saya tekankan, semua kendaraan umum harus didaftarkan. Dan itu harus di KIR. Ini untuk kepentingan pelanggan juga. Kalau ada masalah kita bisa tracking," jelas dia.
Nah, akankah win-win solution taksi reguler dan taksi online akan terjadi?
Halaman 2 dari 3











































