Di Balik Perseteruan Panjang Arab Saudi dan Iran

Di Balik Perseteruan Panjang Arab Saudi dan Iran

Novi Christiastuti - detikNews
Selasa, 05 Jan 2016 09:55 WIB
Di Balik Perseteruan Panjang Arab Saudi dan Iran
Unjuk rasa memprotes eksekusi mati ulama Syiah oleh Arab Saudi (REUTERS)
Washington - Ketegangan antara Arab Saudi dengan Iran kembali memuncak usai eksekusi mati seorang ulama Syiah terkemuka, Nimr Baqr al-Nimr. Kedua negara ini sebenarnya mulai bersitegang sejak revolusi pecah di Iran tahun 1979 silam.

"Iran dan Arab Saudi bukanlah sekutu ataupun musuh sejak awal, namun memiliki persaingan yang sejak lama berkompetisi sebagai produsen minyak terbesar dan masing-masing mengklaim sebagai pembela Islam Syiah dan Sunni," terang Profesor Mohsen M Milani yang mengajar Ilmu Politik pada University of South Florida dalam analisisnya untuk CNN pada tahun 2011 lalu dan dilansir CNN, Selasa (5/1/2016).

Milani juga menjabat Kepala Departemen Urusan Pemerintah dan Internasional pada universitas yang ada di Tampa, AS itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(Baca juga: Di PBB, Saudi Tegaskan Ulama Syiah Dieksekusi Mati Sesuai Prosedur yang Adil)

Sedangkan Fawaz Gerges yang menjabat kepala kajian Timur Tengah pada London School of Economics, menyebut baik Saudi maupun Iran sama-sama menempatkan diri sebagai korban dalam ketegangan yang semakin meningkat di kawasan Timur Tengah.

"Yang Anda lihat bukan hanya perang argumen, pada dasarnya terjadi perpecahan besar, perang proxy, perang dingin terjadi antara Arab Saudi dan Iran. Ini perang tentang geopolitik. Ini tentang kekuasaan. Ini tentang pengaruh," sebut Gerges seperti dilansir CNN.

Profesor Milani dalam analisisnya, seperti dilansir CNN, menjelaskan bahwa Saudi dan Iran pada dasarnya bersaing memperebutkan pengaruh dalam pasar energi serta teknologi nuklir dan pengaruh politik di kawasan Teluk Persia dan sekitarnya. Kedua negara ini sama-sama memiliki sumber daya minyak dan gas alam yang secara kasar, sama besarnya.

(Baca juga: Negara yang Putuskan Hubungan Diplomatik dengan Iran Bertambah)

Sebelum revolusi terjadi, Iran yang masih berbentuk monarki dan dipimpin Shah sangat dekat dengan negara Barat, terutama Amerika Serikat. Sama seperti Kerajaan Saudi yang juga menjadi aliansi AS.Β  Namun sejak Shah dilengserkan dalam revolusi tahun 1979, Saudi merasa khawatir dengan kepemimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini yang terang-terangan menyebut Kerajaan Saudi bertentangan dengan Islam.

Menurut Milani, Saudi juga khawatir dengan ambisi Khomeini 'mengekspor' revolusi ke negara-negara Arab. Dilansir vox.com, revolusi Iran yang bersifat teokrasi sangat terkenal di kawasan Timur Tengah dan bahkan mengklaim akan mewakili umat muslim lebih baik dari Kerajaan Saudi.

(Baca juga: Rusia Nyatakan Siap Jadi Penengah Konflik Arab Saudi dan Iran)

Dikatakan Milani, hingga kini, Saudi masih menjadi sekutu AS dan Iran menjadi musuh abadinya. Milani menilai, Iran melihat Saudi sebagai negara kaya yang menjadi perpanjangan tangan Saudi di Timur Tengah, sedangkan Saudi melihat Iran sebagai sumber utama instabilitas di kawasannya. Saudi, menurut Milani, meyakini bahwa Iran berniat mendirikan semacam 'Bulan Sabit Syiah' untuk mendominasi negara-negara Sunni Arab.

"Persaingan ini mempengaruhi kebijakan kedua negara, di mana mereka berusaha menangkal dan memerangi pengaruh masing-masing. Mereka saling menuding bahwa satu sama lain mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, termasuk dukungan tidak langsung terhadap aksi terorisme," sebut Milani dalam analisisnya.

(Baca juga: Pemimpin Tertinggi Iran Rilis Kartun Samakan Arab Saudi dengan ISIS)

Eksekusi mati ulama Nimr pada Sabtu (2/1) lalu semakin memanaskan ketegangan Saudi-Iran. Dengan terang-terangan Iran mengecam Saudi atas eksekusi itu. Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Khamenei bahkan menegaskan, Saudi akan mendapatkan balasannya.

Ulama Nimr (56) dieksekusi mati bersama 46 narapidana lainnya, yang menurut otoritas Saudi terbukti bersalah terlibat terorisme. Beberapa narapidana tewas dipenggal, sedangkan beberapa narapidana lainnya ditembak mati oleh regu tembak. Nimr sendiri dianggap sebagai tokoh penggerak di balik aksi-aksi demo antipemerintah di Saudi pada tahun 2011 lalu.

(nvc/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads