Aceh - Sekelompok wanita bertugas menjaga hutan di Damaran Baru, Aceh. Mereka melindungi hutan yang menjadi andalan desa mereka dari deforestasi dan perburuan liar.
Foto
Wanita-wanita Tangguh Penjaga Hutan Aceh
Di hutan lebat di kaki gunung berapi di provinsi Aceh, Indonesia, nyanyian siamang di pepohonan bercampur dengan tawa tujuh penjaga hutan yang berjalan di bawahnya.Β
Satu jam setelah patroli, penjaga hutan melihat mamalia lain di hutan bersama mereka. βMau kemana? Apa yang sedang kamu lakukan?β mereka dengan ramah bertanya kepada seorang pria yang lewat sambil membawa peralatan pertanian. βIngatlah untuk tidak menebang pohon kemanapun kamu pergi, oke?β
Keterlibatan ramah ini hanyalah salah satu taktik yang digunakan oleh kelompok penjaga hutan yang dipimpin perempuan untuk melindungi hutan yang menjadi andalan desa mereka dari deforestasi dan perburuan liar. Setelah patroli selama bertahun-tahun yang diikuti dengan penurunan tajam deforestasi, para penjaga hutan kini berbagi strategi mereka dengan kelompok lain yang dipimpin perempuan yang berupaya melindungi hutan mereka di seluruh Indonesia.
Sebagai negara kepulauan tropis luas yang membentang di garis khatulistiwa, Indonesia adalah rumah bagi hutan hujan terbesar ketiga di dunia, dengan beragam satwa liar dan tumbuhan yang terancam punah, termasuk orangutan, gajah, dan bunga hutan raksasa. Beberapa tidak tinggal di tempat lain.
Sejak tahun 1950, lebih dari 285.715 mil persegi (740.000 kilometer persegi) hutan hujan Indonesia β dua kali luas Jerman β telah ditebang, dibakar atau terdegradasi untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, kertas dan karet, pertambangan nikel dan komoditas lainnya, menurut kepada Pengawasan Hutan Global. Dalam beberapa tahun terakhir, deforestasi telah melambat, namun terus berlanjut.
Di Damaran Baru, yang berbatasan dengan salah satu hutan hujan tropis terkaya di Asia Tenggara, banyak penduduk desa yang bergantung pada hutan untuk penghidupan mereka. Para petani memanen kopi dari semak-semak di lereng gunung dan air yang mengalir dari lereng gunung menyediakan air untuk minum dan memasak di desa. Namun deforestasi yang tidak diatur akibat praktik pertanian yang tidak bertanggung jawab dan penyalahgunaan sumber daya hutan telah menimbulkan konsekuensi yang sangat buruk, kata Sumini.
Pada tahun 2015, hujan lebat memicu banjir bandang di desa tersebut, memaksa ratusan orang mengungsi. Ketika air surut, Sumini pergi ke hutan dan melihat daerah aliran sungai yang dipenuhi pohon di desa tersebut telah ditebang secara ilegal. βSaya melihatnya dan berpikir, 'Inilah yang menyebabkan tanah longsor dan bencana,'β kata Sumini dalam sebuah wawancara.
Pemikirannya berikutnya adalah apa yang mendorong terciptanya patroli yang dipimpin perempuan: "Sebagai perempuan, apa yang ingin kita lakukan? Apakah kita harus diam? Atau tidak bisakah kita terlibat?" Indonesia memiliki penjaga hutan di taman nasionalnya, dan sejumlah kelompok pengawas di tempat lain, termasuk beberapa kelompok masyarakat adat. Namun ide Sumini tergolong baru.
Setelah melobi perempuan di desa tersebut untuk memulai patroli, Sumini mendapat penolakan dari provinsi yang secara tradisional patriarki dan diatur berdasarkan hukum Islam, yang dikenal sebagai Syariah. Namun setelah meyakinkan para pemimpin desa dan suami dari perempuan yang berminat β termasuk mengizinkan laki-laki menemani mereka berpatroli β Sumini diberikan izin untuk membentuk kelompok tersebut.
Sumini mulai bekerja sama dengan Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh untuk membantu mendaftarkan kelompok patroli tersebut secara resmi dengan izin perhutanan sosial β izin formal yang didukung pemerintah yang memungkinkan masyarakat lokal untuk mengelola hutan mereka. Setelah izin diproses, yayasan mulai mengajarkan metode standar konservasi hutan kepada calon penjaga hutan, kata Farwiza Farhan, ketua yayasan. Pelatihan pertama, katanya, adalah belajar membaca peta dan mengajarkan metode standar kehutanan lainnya, seperti mengenali tanda-tanda satwa liar dan menggunakan GPS.
Pada Januari 2020, kelompok tersebut melakukan patroli resmi pertama mereka. Sejak itu, perjalanan bulanan mereka melintasi hutan mencakup pemetaan dan pemantauan tutupan pohon, membuat katalog tanaman endemik, dan bekerja sama dengan petani untuk menanam kembali pohon. Mereka secara berkala mengukur setiap pohon dan menandai lokasinya, menandainya dengan pita peringatan agar tidak menebangnya. Ketika mereka melihat seseorang di hutan, mereka mengingatkan orang tersebut akan pentingnya hutan bagi desa mereka dan memberi mereka benih untuk ditanam.

Sumini mengatakan taktik sederhana yang digunakan perempuan, dibandingkan dengan konfrontasi kasar, lebih efektif dalam membuat masyarakat mengubah kebiasaan mereka. Mereka tidak membawa senjata, kecuali pisau besar yang mereka gunakan untuk membelah hutan bila diperlukan, namun tidak menunjukkan rasa takut akan keselamatan mereka sendiri. Kekerasan di hutan hampir tidak pernah terjadi, dan jumlah penjaga biasanya melebihi jumlah yang mereka temui. Para perempuan tersebut tidak mempunyai wewenang untuk menangkap orang, namun dapat melaporkan mereka kepada pihak berwenang.