Menyusuri Jejak Bencana Tsunami dan Likuifaksi Palu

Bulan September 2018 menjadi peristiwa yang tak akan pernah terlupakan bagi warga Palu, Sulawesi Tengah. Bencana alam Tsunami dan Likuifaksi melanda kawasan tersebut.

Jumat, 28 September 2018 jam 17.02 WIB bencana alam gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,4 mengguncang hampir sebagian wilayah Palu, Sulawesi Tengah. Episentrum berada di koordinat 0.18 Lintang Selatan, 119.85 Bujur Timur dengan jarak 26 km Utara Donggala di kedalaman 10 km.

Jumat, 28 September 2018 jam 17.02 WIB bencana alam gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,4 mengguncang hampir sebagian wilayah Palu, Sulawesi Tengah. Episentrum berada di koordinat 0.18 Lintang Selatan, 119.85 Bujur Timur dengan jarak 26 km Utara Donggala dikedalaman 10 km.

Getaran terasa diberbagai penjuru Sulawesi mulai dari Donggala, Palu, Gorontalo, Poso, Majene, Sorowako, Kendari, Kolaka, Konawe Utara, Bone, Sengkang, Makassar, Gowa, dan Toraja bahkan sebagian Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur.

Letak geografisnya dipertemuan tiga lempeng gempa kerap menyebabkan pergerakan tanah yang menyebabkan gempa bumi dan likuifaksi yang meluluhlantakan Petobo dan sekitarnya. Ketiga lempeng yang dimaksud yakni lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik.

Lempeng Eurasia bergerak ke arah tenggara, lempeng Indo-Australia ke arah barat laut, dan lempeng Pasifik ke arah barat.

Gempa bumi dan Likuefaksi yang disusul tsunami meluluhlantakan Palu, Sigi, dan Donggala. Menurut data Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, sebanyak 3.124 orang tewas, 705 orang hilang, dan 1.016 orang dikubur massal (tanpa identitas). Rumah yang rusak mencapai 110.214 rumah.

Kerugian tsunami mencapai Rp2,89 triliun dengan kerusakan senilai Rp15,58 triliun. Palu kini perlahan mulai bangkit dari bencana tersebut.

Bellier (2001) dalam hasil Analisis Indeks Kerentanan Seismik Kota Palu dari Stasiun Geofisika Kota Palu menyebutkan, di dalam pertemuan tiga lempeng tersebut terdapat zona kompleks patahan geser yang mengiri (sinistral). Sedikitnya terdapat dua segmen patahan, yaitu Sesar Palu-Koro dan Sesar Matano, yang menyebabkan frekuensi gempa bumi di Sulawesi Tengah tinggi.

Bencana tsunami lima tahun lalu itu masih meninggalkan jejak sejumlah ruko yang rusak dan roboh di pesisir pantai Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sesar Palu-Koro inilah yang menjadi penyebab gempa dan tsunami pada 28 September 2018. Sesar ini juga menjadi penyebab gempa bumi dan tsunami tahun-tahun sebelumnya.

Gempa bumi dan tsunami tersebut masih meninggalkan jejaknya, sebagai peringatan ancaman dan potensi bencana pada masa depan. Hampir lima tahun setelah bencana kawasan jejak bencana masih terlihat jelas yaitu di kawasan bisnis pantai Talise, Balaroa dan Petobo.

Dikawasan bisnis Pantai Taman Ria dan Pantai Talise jalan cumi-cumi masih terlihat jelas dampak bencana alam 2018 lalu, Banyak ruko-ruko yang terbengkalai akibat gempa dan tsunami yang dibiarkan begitu saja. Dipesisir pantai itu juga kini tengah dibangun tanggul laut dan jalanan dipinggir pantai sedang diperbaiki.

Kini lokasi yang telah dibangun tanggul dari batu untuk menghalau ombak itu, ditetapkan sebagai zona merah oleh pemerintah setempat. Dengan dibangunnya tanggul ini diharapkan dapat memberikan rasa aman warga dari kemungkinan naiknya air laut akibat pasang. Salah satunya juga meminimalisir dampak bencana jika tsunami sewaktu-waktu kembali terjadi.

Di daerah Petobo dan Balaroa dimana terjadi likuifaksi kini ditinggalkan oleh warga dan dibiarkan tumbuh ilang-ilang dan pohon yang menghijaukan kawasan. Pemerintah melarang warga untuk tinggal dikawasan tersebut dan direncanakan menjadi ruang terbuka hijau. 2 daerah tersebut kini menjadi lahan untuk menggembala hewan ternak seperti sapi.

Masjid Terapung atau Masjid Arkam Babu Rahman di Kampung Lere, Teluk Palu, Palu, Sulawesi Selatan kini menjadi salah satu pilihan destinasi wisata warga sekitar. Palu hari ini terus bangkit memulihkan perekonomian dan kehidupan bermasyarakat semakin sadar akan pentingnya mitigasi bencana agar hidur aman dan nyaman diwilayah rawan bencana.

Pemerintah daerah melalui Dinas Pariwisata berencana menata kawasan sekitar Masjid Terapung sehingga lebih nyaman untuk aktivitas masyarakat. Kawasan terdapak gempa yang parah dengan kerusahakan yang besar saat ini merupakan daerah zona merah yang dilarang mendirikan bangunan permanen.

Sementara itu di Kabupaten Donggala masyarakat berwisata dengan nyaman di Pantai Tanjung Karang seakan telah melupakan dan bangkit dari bencana yang pada tahun 2018 lalu. Episentrum gempa pada 2018 lalu berada pada koordinat 0.18 Lintang Selatan, 119.85 Bujur Timur dengan jarak 26 km Utara Donggala pada kedalaman 10 km.

Meski sudah ditetapkan sebagai wilayah rawan bencana, namun pemerintah Palu tidak melarang warga untuk beraktivitas di sepanjang pesisir Teluk Palu, khususnya di wilayah Pantai Lere, Kecamatan Palu Barat, dan Pantai Talise serta Pantai Penggaraman di Kecamatan Mantikulore.