×
Ad

India Perluas Sektor Nuklir, Gaet Investor Asing dan Swasta

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Selasa, 23 Des 2025 16:30 WIB
Jakarta -

Pekan lalu, parlemen India menyetujui undang-undang yang membuka sektor pembangkit listrik tenaga nuklir dapat dikelola perusahaan swasta dan asing.

Undang-Undang Energi Atom yang bersejarah ini menandai perubahan besar arah kebijakan pemerintah, seiring upaya India meningkatkan pemanfaatan energi nuklir dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil demi memenuhi target iklim.

Pemerintah India menargetkan peningkatan kapasitas listrik nuklir hingga sepuluh kali lipat menjadi 100 gigawatt pada 2047. Kapasitas tersebut diperkirakan cukup untuk memasok listrik bagi hampir 60 juta rumah tangga setiap tahun dan dinilai krusial untuk mencapai target netral karbon pada 2070.

Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan angka investasi sekitar 20 triliun rupee India (sekitar Rp3,72 kuadriliun). Regulasi baru ini diharapkan dapat membuka akses pendanaan dari sektor swasta.

Perdana Menteri India Narendra Modi menyebut kebijakan ini sebagai "momen transformasional bagi lanskap teknologi India" dan menilai reformasi tersebut membuka "beragam peluang" bagi sektor swasta.

Sejumlah konglomerasi besar India, termasuk Tata Power, Adani Power, dan Reliance Industries, telah menyatakan minat untuk masuk ke sektor nuklir sipil yang selama ini dikontrol ketat oleh negara.

Reformasi nuklir picu kekhawatiran soal keselamatan

Di tengah optimisme pemerintah, sejumlah pakar memperingatkan berbagai tantangan yang dapat menghambat ambisi nuklir India. Isu yang disoroti mencakup batas tanggung jawab hukum, efektivitas pengawasan regulator, hingga standar keselamatan.

Ajay Bisaria, mantan duta besar India untuk Pakistan, mengatakan bahwa undang-undang ini menghilangkan hambatan hukum yang telah menghalangi perusahaan AS dan Prancis untuk beroperasi di India sejak 2010. Kemudian, memungkinkan India untuk memperoleh pasokan energi beragam, selain dari pihak Rusia.

"Reformasi ini menggeser kerja sama nuklir India-AS dari sekadar sinyal politik menjadi realitas komersial. Pernyataan bersama soal reaktor besar dan SMR (Reaktor Nuklir Modular kecil) kini bisa diterjemahkan menjadi proyek nyata, dengan membaiknya hubungan India-AS yang diperkirakan memberi dorongan tambahan pada 2026," kaya Ajay Bisaria kepada DW.

"Jadwal perizinan, persyaratan lokal, jaminan bahan nuklir untuk bahan bakar impor, kendala pembiayaan, dan pertanyaan tentang kapasitas regulasi adalah isu-isu yang perlu diatasi."

Membaca minat AS dalam reformasi nuklir India

Partai-partai oposisi di India menuding undang-undang baru di sektor nuklir disusun untuk memenuhi kepentingan Amerika Serikat. Legislasi tersebut dijuluki SHANTI, akronim dari Sustainable Harnessing of Advancement of Nuclear Energy for Transforming India, yang dituding dipercepat pengesahannya untuk memenuhi tuntutan Amerika Serikat.

Reformasi di India ini bertepatan dengan langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang pada 18 Desember 2025 menandatangani National Defense Authorization Act atau NDAA.

NDAA merupakan undang-undang kebijakan pertahanan berskala besar yang mencakup ketentuan pembentukan mekanisme konsultatif bersama antara Amerika Serikat dan India. Mekanisme ini bertujuan menyelaraskan aturan tanggung jawab hukum nuklir domestik India dengan standar internasional.

India seimbangkan keselamatan dan dorongan investasi

Jairam Ramesh, tokoh senior partai oposisi utama India, Indian National Congress, menilai perubahan terbaru pada kerangka tanggung jawab hukum nuklir India dipaksakan melalui parlemen untuk menyesuaikan hukum domestik dengan kepentingan Amerika Serikat.

Pemerintah India membantah tudingan tersebut. Menurut pemerintah, reformasi nuklir didorong oleh kebutuhan kedaulatan energi nasional serta komitmen terhadap transisi energi bersih.

Sementara itu, Sameer Patil, Direktur Pusat Keamanan, Strategi, dan Teknologi di Observer Research Foundation, menilai perubahan kebijakan ini sebagai reformasi struktural yang diperlukan untuk membuka investasi swasta bagi ambisi nuklir India.

"Namun, ada sejumlah tantangan, terutama keterbatasan pasokan bahan bakar nuklir dalam negeri. Hal ini membuat sektor ini, dan India secara keseluruhan, rentan terhadap dinamika geopolitik," papar Sameer Patil kepada DW.

"Terkait keselamatan dan pengawasan, terus terang menurut saya ini adalah kompromi antara memberi insentif bagi partisipasi komersial dan menerapkan perlindungan keselamatan yang wajar," lanjutnya.

Patil menilai ketentuan dalam undang-undang nuklir saat ini memang terlihat belum memadai jika dibandingkan dengan potensi dampak kecelakaan nuklir. Namun, aturan tersebut dinilai cukup untuk menjaga minat perusahaan swasta agar tetap terlibat dalam rencana ekspansi energi nuklir India.

Rasa skeptisis atas peran swasta

Seorang pejabat pemerintah yang memahami sektor nuklir angkat suara secara anonim, meragukan kemampuan sektor swasta bertahan dalam proyek nuklir India.

"Industri nuklir India secara konsisten gagal memenuhi target. Rekam jejak sektor swasta yang meninggalkan proyek berisiko tinggi seperti gas dan hidro menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan komitmen investasi besar di sektor nuklir, terutama dengan perlindungan tanggung jawab hukum yang kini melemah," jelas pejabat tersebut kepada DW.

Sementara itu, Anil Wadhwa, mantan diplomat India yang memiliki pengalaman luas dalam isu nuklir dan pelucutan senjata, mengatakan India menghadapi tantangan implementasi untuk mewujudkan target ambisiusnya.

"Masalah di sisi pasokan mencakup kualitas uranium domestik yang rendah, kebutuhan pengembangan tenaga kerja terampil, serta kapasitas manufaktur komponen reaktor yang belum memadai," kata Wadhwa.

Persoalan tanggung jawab dan pasokan

Anil Wadhwa mengatakan perdebatan masih terus berlangsung terkait sejumlah isu krusial dalam reformasi nuklir India.

"Apakah batas tanggung jawab hukum sebesar 15 miliar rupee India atau sekitar 168 juta dolar AS dan 143 juta euro memadai untuk kecelakaan besar, apakah badan pengawas Atomic Energy Regulatory Board memiliki independensi yang cukup dari pemerintah, serta bagaimana menyeimbangkan insentif komersial dengan standar keselamatan," kata Wadhwa.

Sebagai perbandingan, bencana nuklir Fukushima di Jepang pada 2011 menelan biaya lebih dari 200 miliar dolar AS (sekitar 3,34 kuadriliun) untuk pembersihan dan kompensasi, atau lebih dari 1.200 kali lipat dari batas tanggung jawab yang diusulkan India.

Sementara itu, total dampak ekonomi kecelakaan nuklir Chernobyl diperkirakan melampaui 700 miliar dolar AS (sekitar Rp11,7 kuadriliun) jika memperhitungkan biaya kesehatan jangka panjang, evakuasi, serta hilangnya lahan akibat kontaminasi.

Terkait perusahaan asing, Wadhwa mengatakan Undang-Undang Tanggung Jawab Perdata atas Kerusakan Nuklir India tahun 2010 sebelumnya memungkinkan operator menggugat pemasok atas cacat peralatan, berbeda dengan praktik global di mana tanggung jawab hukum hanya dibebankan kepada operator.

"Undang-undang ini secara mendasar mereformasi ketentuan tersebut dengan mendekatkannya pada standar internasional," ujar Wadhwa.

"Kepemilikan asing dibatasi maksimal 49 persen dengan persyaratan operasional dan perizinan, tetapi rancangan undang-undang ini membuka jalur partisipasi yang sebelumnya tidak ada, yang menandai kemajuan signifikan dibandingkan rezim lama yang sangat restriktif."

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Ausirio Sangga Ndolu

Editor: Muhammad Hanafi

Simak Video 'Viral Dokter di India Pukul Pasien Berujung Diskors':

width="1" height="1" />




(ita/ita)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork